Popular Posts

Monday, November 19, 2007

Al Imam Ali bin Musa Ar-Ridha (as)




a. Biografi Singkat Imam Ali bin Musa ar-Ridha (as)

Imam Ali Ridha (as) dilahirkan di Madinah pada tanggal 11 Dzulqa’edah 148 H. Ayahnya adalah Imam Musa Kazhim (as) dan ibunya adalah Najmah. Nama lainnya adalah Samanah, Tuktam, dan Thahirah.

Setelah Imam Kazhim (as) syahid, dalam usia 35 tahun, ia harus memegang tali kendali imamah, menjaga syiar-syiar Islam, dan membimbing para pengikutnya. Jangka masa imamah Imam Ridha (as) adalah dua puluh tahun. Kita dapat membahagi masa tersebut dalam tiga fasa:

a. Sepuluh tahun pertama masa imamahnya yang bersamaan dengan masa pemerintahan Harun Rasyid.

b. Lima tahun setelah masa tersebut yang bersamaan dengan masa pemerintahan Amin, putra Harun.

c. Lima tahun kedua yang bersamaan dengan masa pemerintahan Ma`mun Abbasi, saudara Amin.

Dalam setiap fasa imamah di atas, Imam ArRidha (as) berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menjaga dan menyebarkan Islam meskipun ia harus berhadapan, dari satu sisi, dengan politik pemerintahan masa itu yang rumit karena ia menjadikan Islam sebagai asas pemerintahannya, dan, dari sisi lain, kepincangan-kepincangan sosial yang menimpa masyarakat waktu itu.

Imam Ridha (as) pada tiga tahun terakhir hidupnya banyak mengeluarkan tenaga demi menggunakan kesempatan yang ada demi menyedarkan masyarakat dan memusatkan perhatian mereka terhadap permasalahan-permasalahan utama dan taktik pemerintah dalam melupakan mereka akan masalah-masalah tersebut dengan cara yang beraneka ragam.

Semasa Ma`mun Abbasi memrintah, ia memindahkan ibu kota pemerintahannya dari Baghdad ke Merv (salah satu kota Khurasan sekarang.).Di situ dia mengundang Imam Ridha (as) ke istana kekuasaannya bagi manfaat dirinya dan mengambil hati para pencinta Ahlul Bait dan dapat mengawal gerak-geri Imam Ridha (as). Pada mulanya Imam Ridha (as) tidak menerima undangan tersebut kerana tahu akan rancangan Ma’mun di sebalik undangan itu. Tapi setelah di paksa beberapa kali,akhirnya Imam Ridha (as) terpaksa akur juga.

Imam Ridha (as) syahid pada tahun 203 H dalam usianya yang ke-55 tahun di sebuah desa yang bernama Senabad Nuqan dan sekarang desa itu menjadi salah satu bahagian dari kota Masyhad, Iran. Ia syahid karena diracun oleh Ma`mun, khalifah yang berkuasa pada saat itu.




c. Sebuah Pesanan dari Imam Ridha (a.s)

Ali bin Syu'aib, salah seorang sahabat setia Imam Ridha as, bercerita: "Suatu hari aku pergi berziarah ke rumah Imam Ridha as. ‘Wahai Ali, kehidupan siapakah yang terbaik?’ tanyanya kepadaku.

‘Wahai Imam, Anda yang lebih tahu,’ jawabku pendek.

‘Orang yang memakmurkan kehidupan orang lain dengan biaya hidupnya sendiri,’ jawabnya.

‘Apakah engkau tahu kehidupan siapakah yang paling buruk?’ tanyanya kembali.

‘Anda lebih tahu,’ jawabku.

‘Seseorang yang orang lain tidak dapat mengambil manfaat dari kehidupannya,’ jawabnya.



c. Antara Kata-Kata Mutiara Imam Ridha (a.s)

1. Tiga sifat orang mukmin

"Seseorang tidak akan menjadi mukmin yang sejati kecuali ia memiliki tiga sifat ini: mengikuti sunnah Tuhannya, sunnah Nabi-Nya dan sunnah imamnya. Sunnah (kebiasaan yang dilakukan oleh) Tuhannya adalah menyimpan rahasia, sunnah Nabi-Nya adalah bertolak-ansur terhadap orang lain, dan sunnah imamnya adalah sabar menanggung kesengsaraan."

2. Pahala berbuat kebajikan secara diam-diam dan ancaman bagi orang yang melakukan keburukan secara terang-terangan

"Orang yang berbuat kebaikan secara diam-diam pahalanya sama dengan tujuh puluh kebaikan, orang yang melakukan keburukan secara terang-terangan, ia akan hina dan orang yang menutupi keburukan akan diampuni".

3. Kebersihan

"Menjaga kebersihan adalah termasuk akhlak para nabi as."

4. Orang yang boleh dipercaya

"Orang yang (pada hakikatnya) dapat dipercaya tidak akan berkhianat kepadamu, dan hanya engkaulah yang menganggap pengkhianat sebagai orang yang dapat dipercaya".

5. Membahagiakan orang mukmin

"Barangsiapa menolong orang mukmin menangani kesusahannya, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari hatinya pada hari kiamat."

6. Sahabat dan musuh setiap orang

"Sahabat setiap orang adalah akalnya dan musuhnya adalah kebodohannya".

7. Menyebutkan nama seseorang dengan penuh penghormatan

"Jika engkau menyebut nama seseorang yang ada di hadapanmu, maka sebutlah jolokannya, dan jika ia tidak ada di hadapanmu, maka sebutlah namanya".

8. Manusia terjahat

"Manusia terjahat adalah orang yang tidak mahu menolong orang lain, makan sendirian, dan memukul budaknya

9. Sepuluh keistimewaan orang yang berakal

"Akal seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia memiliki sepuluh sifat berikut: (1) kebaikannya selalu diharapkan orang; (2) orang lain merasa aman dari kejahatannya; (3) menganggap banyak kebaikan orang yang sedikit; (4) menganggap sedikit kebaikan yang telah diperbuatnya kepada orang lain; (5) tidak pernah menyesal jika orang lain selalu meminta bantuan darinya; (6) tidak merasa bosan mencari ilmu sepanjang umurnya; (7) kefakiran di jalan Allah lebih disukainya daripada kekayaan; (8) hina di jalan Allah lebih disukainya daripada mulia di dalam pelukan musuh-Nya; (9) merendah diri lebih disukainya daripada meninggi diri."

Kemudian Imam Ridha as bertanya, "Yang kesepuluh, apakah yang kesepuluh?" "Apakah yang kesepuluh?" tanya seorang sahabat."Ia tidak melihat seseorang kecuali berkata (dalam hatinya): 'Ia masih lebih baik dariku dan lebih bertakwa'", jawabnya singkat.

10. Amalan terbaik setelah hal-hal yang wajib

"Tidak ada amalan yang lebih utama di sisi Allah setelah hal-hal yang wajib selain daripada membahagiakan orang mukmin."

11. Sifat pemaaf akan selalu menang

"Jika dua kelompok saling bertemu, maka kemenangan akan berpihak kepada kelompok yang paling pemaaf."

12. Melanggar janji dan tipu muslihat

"Seseorang tidak akan dapat membebaskan diri dari lingkaran kesengsaraan dengan melanggar janji, dan tidak akan aman dari ancaman siksa jika melakukan kezaliman dengan cara tipu muslihat."

13. Rukun iman

"Iman memiliki empat rukun: tawakal kepada Allah, rela dengan segala ketentuan (qadha`)-Nya, pasrah diri terhadap semua perintah-Nya dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya."

14. Amal soleh dan mencintai keluarga Muhammad saw

"Janganlah meninggalkan amal soleh dan kesungguhan dalam ibadah kerana menyandarkan cinta kepada keluarga Muhammad saw dan janganlah meninggalkan kecintaan kepada keluarga Muhammad saw kerana menyandarkan ibadah (yang kau kerjakan), karena salah satunya tidak akan diterima kecuali jika disertai dengan yang lainnya."


Monday, November 5, 2007

Keutamaan dan Amalan di Bulan Haji (Dzul-Qaidh)





01 Dzul-Qaidah 1428 H bertepatan 11 November 2007 M.
Bulan Dzul Qa`idah adalah salah satu bulan haji yang dimuliakan oleh
Allah swt dan disebutkan di dalam Al-Qu'an: "Musim haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
di bulan-bulan itu untuk melaksanakan haji, maka ia tidak boleh
rafats, tidak boleh melakukan kefasikan dan mujadalah …" (Al-
Baqarah: 197).

Sayyid Ibnu Thawus mengatakan bahwa dalam suatu suatu hadis
dikatakan bulan Dzul Qa`idah adalah bulan dikabulkannya doa,
khususnya bagi orang yang sedang berada dalam kesulitan.

Rasullullah saw bersabda: "Tanggal satu bulan Dzul Qaidah memiliki
banyak keutamaan. Barangsiapa yang melakukan shalat sunnah di
dalamnya, taubatnya diterima, dosa-dosanya diampuni, musuh-musuhnya
ridha pada hari Kiamat, matinya dalam keadaan beriman, agamanya
tidak dicabut darinya, kuburnya diluaskan dan diterangkan, kedua
orang tuanya diridhai dan dosanya diampuni oleh Allah, rizkinya
diluaskan, zakrakatil mautnya dikasihi oleh Malaikat dan ruhnya
dicabut dari jasadnya dengan mudah."

Dalam suatu hadis dikatakan: "Barangsiapa yang memohon hajatnya
kepada Allah pada malam ini, Dia memberi hajat yang dimohonnya."

Imam Ali Ar-Ridha (as) berkata: “Malam 25 Dzul-Qaidah adalah malam kelahiran Nabi Ibrahim (a.s) dan Nabi Isa (a.s), malam ini adalah malam dibentangkannya bumi dari bawah Ka’bah. Barangsiapa berpuasa pada hari ini, nilainya sama dengan berpuasa 60 bulan.

Dalam suatu hadis dikatakan bahwa hari ini (25 Dzul-Qaidah adalah hari datangnya Imam Mahdi (‘aj). (Mafatihul Jinan, bab 2, pasal 4).


Barngsiapa yang ingin memperoleh keutamaan bulan ini, maka hendaknya
melakukan amalan-amalan yang disunnahkan di bulan yang mulia ini.

Diantara amalan di bulan Dzul-Qaidah adalah Mandi sunnah pada hari
pertama, kemudian berwudhu' dan melakukan shalat sunnah empat
rakaat. Caranya: setiap rakaat sesudah Fatihah, membaca Surat Al-
Ikhlas (3 kali), An-Nas (3 kali) dan Al-Falaq (sekali). Sesudah
shalat membaca Istighfar (70 kali), kemudian membaca:

Lâ Hawla walâ quwwata illâ billâhil `aliyil `azhîm.
Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan
Maha Agung.

Yâ `Azîzu yâ Ghaffâru. Ighfirlî dzunûbî wa dzunûba jamî`il mu'mîna
wal mu'minât. Fainnahu lâ yaghfirudz dzunûba illâ Anta.
.
Wahai Yang Maha Mulia, wahai Yang Maha Pengampun, ampuni dosa-dosaku
dan dosa-dosa mukminin dan mukminat, tidak ada yang dapat mengampuni
dosa-dosa kecuali Engkau. (Mafatihul Jinan, bab 2, pasal 4)

Amalan dan doa di bulan Dzul-Qaidah tidak hanya diamalkan oleh orang-
orang yang akan menunaikan Ibadah haji, tetapi juga oleh kita semua.
Semoga dengan mengamalkan Amalan ini kita diberi kesempatan dan
kemampuan oleh Allah swt untuk melaksanakan haji di tahun mendatang.
Amin Ya Rabbal 'alamin.

Saturday, November 3, 2007

Sang Bintang Kejora di Langit Nahrain: Syahidah al-Adîbah, Aminah Shadr (Bintul Huda) Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail


ImageSayidah Aminah binti Ayatullah Sayid Haidar Shadr lahir tahun 1356 H atau 1937 M di kota Kazimiyah, di sebuah rumah sederhana yang penuh dengan ilmu, jihad dan takwa. Dia adalah saudara perempuan dari Sang Pemikir Besar Islam yang dikenal dengan Muhammad Baqir Shadr dan Ismail Shadr.

Kondisi perekonomiannya tidaklah jauh berbeda dari keluarganya yang lain dari deraan dan himpitan blokade ekonomi. Dia juga harus menanggung kesulitan dan rintangan yang datang bertubi-tubi. Dengan segala kekuatan spiritual yang diliputi oleh keimanan dan rasa konaah beliau menghadapi masa-masa sulit itu.

Dia (Bintul Huda) sama sekali belum pernah melihat wajah ayahnya seakan-akan dia dilahirkan dalam keadaan yatim. Kecuali Allah telah mengalihkan perhatiannya dari hal itu kepada kepada saudara laki-lakinya Almarhum Sayid Ismail Shadr dan Sayid Muhammad Baqir Shadr, yang telah mencurahkan segalah cinta, kasih sayang dan kelembutan kepadanya melampui apa yang didapatkan oleh para yatim lainnya.

Bintul Huda belajar membaca dan menulis di rumah di bawah bimbingan dan pengajaran langsung ibundanya tercinta, dan sang ibu adalah guru pertama baginya, dan sang ibu pun sangat memuji kemampuan anaknya dalam belajar, menganalisis dan memahami, kemudian dia menyempurnakan fase-fase pendidikan membaca dan menulisnya di bawah asuhan kedua saudara laki-lakinya ini. Dan pelajarannya meliputi ilmu-ilmu Arab klasik di antara yang paling banyak diminatinya, hingga dia mempuni dalam hal tulis menulis syair di usia yang paling dini dari umurnya.

Dia gemar dan suka sekali pada budaya ibu pertiwinya yaitu budaya Islam yang bermutu tinggi, di periode-periode awal dari masa hidupnya atau sebelum masa kesyahidannya. Maka hal ini, memungkinkannya untuk melebarkan sayap cakrawala budayanya yang meluas, mencakup dan bervisi jauh ke depan, di mana tulisan-tulisannya telah diterbitkan di dalam Majalah al-Ahdwa di era 1966, yang mana dia menggaungkan pada kita tentang aspek-aspek dari visi-visi ke depannya tersebut. Dan Majalah al-Adhwa diprakarsai oleh kumpulan para ulama di Najaf Asyraf ini bukanlah menjadi sebuah mimbar kecuali dia hanya untuk melakukan pembahasan-pembahasan yang mengklarifikasi tok, dan Bintul Huda adalah salah seorang penulis artikel utama dan terkemuka di dalamnya bahkan dia merupakan seorang pemrakarsa pertama dalam dunia tulis dan mengarang pada masa itu. Sayidah Bintul Huda juga memiliki hubungan erat (mesra) dengan saudaranya Muhammad Baqir dan istrinya Sayidah Ummu Ja’far.

Dia banyak sekali membantu saudaranya di bidang kemasyarakatan, budaya dan politik, semisal pendirian sekolah atau balai-balai publik, atau memimpin langsung beberapa sekolah agama atau selain itu. Dia juga ikut hadir dalam penyambutan tamu-tamu dari kelompok wanita, dan bekerja sungguh-sungguh dalam menanggapi keluhan dan kebutuhan-kebutuhan mereka akan masalah-masalah fikhiah dan pemikiran, dan terjun langsung dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan keluarga dan perkawinan (rumah tangga). Demikian juga dia memiliki kesibukan dalam mendidik putri-putri saudaranya dengan pendidikan yang bermisi dan visi ke depan dan benar.

Lalu kesibukannya dalam mengurusi ibundanya yang pada saat itu sangat membutuhkan perhatian dan pertolongan yang ekstra darinya dikarenanya usinya yang sudah semakin menua yang belakangan sudah mulai sering sakit-sakitan. Akhirnya, Sayidah sang Syahidah ini memiliki kesibukan dalam menghubungkan antara saudaranya yang seorang pemikir nan cemerlang itu dengan kelompok-kelompok para wanita yang datang meminta pendapatnya, di mana dia bertugas menukilkan dengan segala sikap amanah apa yang dipaparkan oleh para wanita dari masalah-masalah fikhiah yang mereka sembunyikan dikarenakan rasa malu mereka dari memaparkannya secara langsung kepada Sayyid Shadr, yang kadang-kadang juga dia bantu oleh istri saudaranya ini yaitu Sayidah (Ummu Ja’far).

Sang Syahidah pun berangkat haji untuk menunaikan kewajiban agama dalam kondisi yang sangat berat di mana dia berangkat haji dari Bagdad atau Kazimiyah, di sana dia mengajari para wanita masalah-masalah haji dan hukum-hukumnya karena dia juga sedikitnya banyak mengetahui aspek-aspek fikhiah berdasarkan fatwa-fatwa dari aneka Marja, dia juga menjawab setiap kebutuhan mereka dengan memadai pertanyaan siapa pun yang bertaklid dari salah satu mujtahid. Dia telah membahas beberapa masalah yang pelik yang tidak pernah ada di dalam risalah-risalah ilmiah para ahli fikih dan dalam masalah ini dia senantiasa berhubungan lewat telepon dengan Sayid Syahid Shadr –Rahmatullah- untuk mendapatkan jawaban hukum syar’i darinya.

Dan di samping itu, dia berusaha keras untuk mengenali kondisi-kondisi kaum Muslim di berbagai penjuru dunia, dan menyebarkan budaya Islam yang benar yang sesuai dengan kondisi-kondisi di masa (hidup)nya.


AKSI KEBUDAYAANNYA

Syahidah (Bintul Huda) adalah salah seorang pendiri dan pemrakarsa bagi berdirinya Sekolah-sekolah az-Zahra di Bagdad, Kazimiyah dan Najaf-1967 M-yang tiada lain dari tujuan (misi)nya ini hanyalah untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan Pendidikan Islam secara khusus dengan mendirikan sekolah-sekolah dasar (Madrasah Ibtidaiyah) dan Tsanawiyah karena sekolah-sekolah negeri sudah cukup memadai bagi para pelajar umum, karena dalam pandangannya bahwa mendirikan sekolah-sekolah agama merupakan masalah yang sangat urgen (penting) di era itu, yang darinyalah budaya-budaya Barat yang materialistik yang mengajak manusia kepada kebengkokkan, penyelewengan dan kekerdilan akhlah dan moral dapat ditangkal.

Dari dasar pemikiran inilah, Sayidah mendapatkan pengakuan (persetujuan) resmi dari DIKNAS untuk mendirikan sekolah-sekolah ini dan merujukan referensi materi pengajaran sekolahnya dengan materi yang ada di sekolah-sekolah negeri, baik di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanuwiyahnya, agar para siswa tidak mendapat kesulitan dan hambatan dari melanjutkan studi mereka setelah mereka selasai dari sekolah az-Zahra dan dia juga menyusupkan beberapa materi pembelajaran tambahan bagi siswa-siswanya seperti Akidah dan Pendidikan Islam dengan bentuk yang elok dan mendalam. Dan di sekolah ini dia telah memainkan peran agung (penting) dan bervisi ke depan di mana beliau akan datang mengunjungi sekolahnya tiga kali dalam seminggu dan selebihnya beliau sibuk di Pusat Pendidikan di Najar Asyraf. Kerja keras Syahidah Bintul Huda ini telah membuahkan hasil yang sangat memuaskan dan diberkati sekalipun dengan modal dan kemampuan seadanya ini dan juga karena keamanan sosial-politik yang sangat rentan (dangkal), karena banyak dari lulusan (alumnus) sekolah-sekolah az-Zahra yang diprakarsainya ini menyebar di Irak, Khalij dan hingga ke Eropa sekalipun.

Dan di samping lembaga-lembaga pendidikan, Syahidah juga mendirikan lembaga-lembaga kebudayaan agama umum yang di dalamnya pemikiran-pemikiran keislaman akan dikaji yang selaras dengan tuntutan zaman dan kemajuan-kemajuannya, dan lembaga-lembaga bentukkannya ini telah mendapatkan hasil yang memuaskan, dan mendapatkan sambutan baik dan hangat dari berbagai lapisan wanita.

Dan dilaporkan bahwa Sayidah Bintul Huda merupakan Sastrawan pertama yang mencetuskan terbentuknya Lembaga Seminari Agama, dan dilaporkan pula bahwa dia adalah seorang remaja putri yang cantik jelita, hal ini karena kita tidak pernah hidup semasa dengannya di Najaf –atas alasan inilah dia pun mendirikan sebuah Perpustakan Islam untuk Seminari Ilmiah (Hauzah Ilmiah) dan Marja Agama- yang dipersembahkan oleh Syahidah Bintul Huda dalam memuluskan tujuan ini.

Dan dengan semua kerja keras dan kedudukan mulia itu, tidaklah dia bertujuan untuk berpamer diri dan ingin terkenal, dan sebagai penegasan kebanaran penuturan kami ini adalah bahwa Aminah Shadr sang syahidah lagi berbahagia ini telah memilihkan nama samaran yang tak kenal orang ini (Bintul Huda) bagi dirinya sendiri, di mana kami pun belum pernah mendapatkan di berbagai tulisan dan karyanya peneraan namanya yang sebetulnya tanpa tedeng aling-aling (alasan yang jelas). Tanpa tendensi (alasan) keamanan politis apa pun karena Lembaga Intelegen Negara Irak tidak akan bisa mengenali orangnya kecuali dengan nama asli yang disertakan di lesensi sebuah penerbitan (buku), dan penyebab esensialnya dari pengaburan namanya ini adalah ketidakmaun dan ketidakpedulian beliau terhadap ketenaran nama (di tengah-tengah masyarakat). Sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya bahwa Syahidah Bintul Huda telah memulai kegiatan tulis menulisnya di Majalah al-Adhwa yang diprakarsai oleh Dewan Ulama kota Najaf, dan demikian di Majalah ai-Iman yang diprakarsai oleh Almarhum Syekh Musa Ya’qubi.


Karya Tulis Syahidah Bintul Huda:

1. al-Fîlah Tantashir,
2. al-Khâlah adh-Dhâi’ah,
3. Imra’atâni wa Rajl,
4. Shirâ’,
5. Liqâ’ fi al-Mustasyfâ,
6. Mudzakkirât al-Hajj,
7. Laitani Kuntu A’lam,
8. Buthûlât al-Mar’ah al-Muslimah,
9. Kalimah wa Da’wah,
10. al-Bâhitsah ‘an al-Haqîqah,
11. al-Mar’ah ma’a an-Nabiy.

Dia memiliki beberapa karya tulis lain yang diterbitkan oleh Penerbit Pmerintahan di Irak yang hasil penjualannya untuk merenovasi rumah Sayid Shadr –semoga Allah meridhainya-setelah kesyahidannya dan sebagiannya lagi dijaga.


Aksi Demontrasi dan Kesyahidannya:

Permulaan perjalanan menghadapi jihad (perjuangan) yang dilakukan oleh Sayidah Aminah adalah semenjak pemindahan pertama terhadap saudara laki-lakinya (Sayid Muhammad Baqir Shardr) tahun 1971 M (1392 H). Kemudian dia ikut bergabung dalam aksi protes dan perlawanan (Intifadhah) Shafr tahun 1977 M (1397 H) yang memprotes pemindahan (pengasingan) atas diri Sayid Syahid, dan hari-hari itu merupakan hari-hari tersulit dalam sejarah Najaf yang merupakan tahun ketakutan dan kengerian di seteiap pelosoknya. Ketika beliau dikeluarkan dari tempat pengasingannya, dia ditemani oleh Kepala Keamanan Kota Najaf, dia pun lari mendahului keduanya lalu menghentikan laju kendaraan yang membawa Syahid Shadr dan berorasi di hadapan khalayak ramai, mengingatkan para polisi keamanan dan apa yang mereka lakukan terhadap saudaranya dengan beteriak lantang dan menyatakan selamat datang kepada kematian apabila kematian yang menimpa itu ada di jalan Allah.

Dan di pagi hari ke-17 Rajab 1399 H (1979 M), pengasingan atas saudaranya benar-benar dilaksanakan, maka Bintul Huda pun bergegas menuju Haram Imam Amirul Mukminin as di Najaf Asyraf dan di sana bdia menyeru dengan suara lantang,

“Sungguh kami dizalimi, sungguh kami dizalimi wahai kakekku Amirul Mukminin, sungguh mereka telah mengasingkan putramu Shadr…Duhai kakekku wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya daku kini mengadukan kepada Allah dan kepada engkau atas apa yang kini sedang menimpa kami dari kezaliman dan pemakasaan ini.”

Lalu dia mengkhotbahi para hadirin yang terdiri para algojo penguasa dan masyarakat awam yang ada di sekitarnya dengan berkata, “Wahai para pemuka Mukminin, adakah kalian hanya akan bungkam saja sedangkan Marja kalian kini telah diasingkan? Adakah kalian akan berdiam diri sedangkan Imam kalian dipenjarakan dan disiksa? Apa yang akan kalian katakan apabila kakekku Amirul Mukminin menanyai kalian atas kebungkaman dan ketiadaan rasa berani kalian ini? Keluarlah kalian, berdemonstrasilah, dan keluarlah kalian di jalan-jalan utama kota ini…”

Dan tak lama berselang, dia sudah mampu menggalang dan mengatur aksi demonstrasi besar-besaran yang bertolak dari Haram Imam Ali as yang di dalamnya bergabung laki-laki dan perempuan, yang memaksa penguasa setempat untuk membebaskan Sayid Shadr. Dan sebagai hasil dari aksi demonstrasi ini, Sayid Shadr pun dibebaskan setelah beberapa saat dari waktu pengasingannya tersebut.

Di petang hari kesembilan Naisan tahun 1980 M dan tepat pada jam 9 atau 10 petang, penguasa setempat memutuskan aliran listrik dari pusat kota Najaf Asyraf. Dan di gulita malam yang mencekam itu, segerombolan besar pasukan keamanan Ibu Kota merangsek masuk ke rumah Almarhum al-Hujjah Sayid Muhammad Shadiq Shadr –semoga Allah merahmatinya- lalu mereka memintanya hadir (datang) ke Gedung Keamanan Kota Najaf, dan di sana mereka menyerahkan jenazah Sayid Syahid dan saudarinya nan suci Bintul Huda, dan mengingatkannya agar tidak mengabarkan tentang kesyahidan Bintul Huda kepada publik, kemudian mereka membawanya menuju komplek pemakaman Wadissalam dan beliau pun menguburkan keduanya di sana.

Beberapa sumber melaporkan bagaimana proses kesayadihannya bersama saudarannya ini,

“Mereka membawa pergi Sayid Shadr ke Kantor Keamanan Publik lalu mereka membelenggunya dengan rantai besi, kemudian si bengis Saddam Husain datang ke sana, kemudian dia berkata kepadanya dengan logat pasaran (Lahjah ‘Amiyah), “Kamukah Muhammad Bagir yang hendak menentang (menyamai) Penguasa itu?,” kemudian dia (Saddam) memukul kepala dan wajahnya dengan pentulan karet yang sangat keras.

Sayid Shadr berkata kepadanya, “Aku telah meninggalkan kekuasaan (diuniawi) untukmu.” Dan terjadilah perdebatan sengit antara keduanya tentang tema ini dan tentang hubungannya dengan Revolusi Islam di Iran, yang hal ini membuat geram Saddam dan memerintahkan algojonya untuk menyiksa Sayid Shadr dengan siksaan yang keras dan bertubi-tubi. Kemudian memerintahkan algojonya untuk menghadirkan Syahidah Bintul Huda –yang nampaknya dia telah diintrogasi dan disiksa di ruangan yang lain- mereka pun datang membawanya dengan menyeret tubuhnya tanpa rasa iba sedikit pun, maka tatkala Sayid melihat keadaannya yang memilukan itu, beliau pun naik pitam dan menyayangkan akan kondisi dan posisinya yang sangat memilukan itu. Sayid berkata kepada Saddam, “Jika kamu benar-benar seorang laki-laki jantan maka lepaskan borgolku ini.” Maka si bengis ini pun mengambil pentulan (bugem mental) karet lalu memukul pemudi Alawiah nan syahid (Bintul Huda) ini tapi dia sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Kemudian Saddam Hussein memerintahkan algojonya untuk melucuti jilbabnya yang membuat Sayid Shadr semakin geram bukan kepalanya, maka beliau berkaata kepada Saddam, “Jika kamu benar-benar seorang laki-laki jantan maka maka berkelahi denganku satu lawan satu, dan bebaskan saudariku itu, tapi kamu adalah seorang pengecut yang merasa kuat ketika kamu berada di antara para pengawalmu saja),” maka si dikatator ini pun marah besar lalu dia mengeluarkan pistolnya menembakkannya kepadanya dan kemudian kepada saudarinya sang syahidah tersebut dan lalu berjalan keluar dari ruangan introgasi itu laksana orang gila sambil berteriak dengan memaki dan mencerca habis-habisan (sekalipun kedua orang yang sedang dicaci dan dicercanya ini telah meninggal dunia karena tembusan timah panas yang keluar dari selongsong pistolnya tadi-pen.).”

Bintul Huda pun pergi menuju haribaan Tuhannya dengan sisa-sisa tetesan darah di sekujur tubuhnya nan suci dalam ingatan semua orang sebagai sebuah amanat yang sangat berat di hadapan neraca penghisaban amal seluruh bangsa manusia di sisi Allah Ta’ala dan sejarah. Salam sejahtera atas Bintul Huda pada hari dia dilahirkan, pada hari dia disyahidkan, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali kelak.


Bacaan menarik dalam buku-buku karya Bintul Huda:

Syahidah Bintul Huda adalah seorang yang sangat mempuni, dia adalah seorang pribadi agung yang memiliki kemampuan di atas rata-rata pada penulisan artikel dan sejenisnya. Dia telah memulai debut menulisnya untuk dimuat di Majalah al-Adhwa, yang para ulama Irak telah memilihnya sebagai penulis tetap di majalah tersebut. Dia telah menulis tentang seruan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang di dalamnya dia meminta agar kaum wanita bisa bekerja dan membantu kaum pria bertanggung jawab dalam urusan pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Syahidah mengambarkan bahwa majalah ini merupakan jalan yang akan menyampaikan aspirasinya kepada seluruh Muslimah, di mana dia berkata tentangnya, “Engkaulah yang bisa mengangkat dan menggemakan seruanku terhadap sebagian segi sensitifitasku dari tanggung jawabku terhadap agamaku yang nomor satu dan yang kedua pertembuhan serta perkembangan jenisku (kaumku: para wanita). Sebagaimana seluruh kehidupan Syahidah dipenuhi oleh perhatiannya terhadap penulisan artikel-artikel, dia pun dihidupkan oleh karangan-karangan dan buku-bukunya yang bermisi ke depan. Maka kasidah-kasidahnya pun memiliki muatan-muatan yang bernilai tinggi yang darinya kaum Mukmin mengambil modelnya darinya dalam perbuatan mereka, dan berikut ini di antara karya Sastranya sangat terkenal,



أنا كنت أعلم أن درب الحقّ بالاشواك حافل

خال ٍمن الريحان ينشر عطره بين الجداول

لكنني اقدمت اقفو السـير في خطو الاوائل

فلطالما كان المجاهد مفردا بين الجحــافل

ولطالما نصر الاله جنوده وهم القلائـــل

فالحق يخلد في الوجود وكل ما يعدوه زائل

ساظل اشدو باسم اسـلامي وانكر كل باطل



Aku tau, sesungguhnya kebenaran ada bersama suka cita perayaan

Di antara riakkan sungai Raihan yang menebarkan aroma

Tapi ketika daku hendak melangkah, kuberhenti di awal langkahku

Menyendiri di antara prahara yang diperankan oleh sang Mujahid

Selama Tuhan memenangkan Pasukan-Nya sekalipun mereka sedikit

Wujud dan setiap yang berbilang pasti sirna dan kebenaran akan kekal dalam

naungan nama Islam dan pengingkaran terhadap setiap kebatilan.


Beberapa karangannya sebagai pengabdiannya di jalan perjuangan Islam, dan berikut ini kami akan memaparkannya secara ringkas yang ada di dalam kisah-kisah perjalanan hidupnya yang merusak sendi-sendi akidah kita yang kemudian beliau mengkritisinya dengan kekuatan dalil yang meyakinkan, dia menggemakan hal ini dalam bukunya: “Imra’atâni wa Rajl” di mana dia menjelaskan tentang bias-bias dan permasalahan-permasalahan surat menyurat antara si penanya yang kebingungan dan si penjawab yang penuh inspirasi. Dan kisah ini menjelaskan argumentasi dalam bentuk sebuah sastra yang bermutu dengan metode yang sangat sederhana dan simpel, hingga surat-menyuratpun harus memiliki tujuan yang jelas.

Kejutan Sayyed Hassan Nasrallah


Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail


ImageJika kalian, Zionis, berpikir untuk menyerang Lebanon, maka akan saya siapkan sebuah kejutan bagi kalian, yang akan mengubah hasil dari perang itu dan masa depan kawasan.”
Sayid Hasan Nasrallah dalam pidato peringatan setahun gencatan senjata dengan Israel.

“Kita harus menganggap serius Nasrallah. Dia tidak pernah berbohong.”

Benjamin Ben-Eliezer, menteri infrastruktur dan anggota kabinet keamanan Israel.

Dalam sejarahnya, para pemimpin Arab selalu bersandar pada hiperbola, alih-alih pencapaian, dalam berbicara kepada rakyat mereka. Namun, kini bahkan Israel sendiri mengakui bahwa Sekjen Hizbullah, Sayid Hasan Nasrallah, haruslah dipandang serius kata-katanya. Nasrallah bukan hanya secara elegan menghindari pembanggaan-diri, tetapi pencapaiannya sendiri telah banyak berbicara.

Demikian pula halnya dengan apa yang ia istilahkan dengan “Kemenangan Ilahi” melawan Israel tahun lalu, yang juga dikenal dengan “Perang Lebanon Kedua” bagi Israel dan “Perang Juli” bagi pemerintah Siniora. Agresi Israel, yang konon sebagai balasan terhadap ‘penculikan’ dua serdadunya (yang secara ilegal memasuki perbatasan Lebanon), dilawan dan dihadapi oleh Hizbullah dengan salvo demi salvo dari roket-roket Katyusha.

Pada salah satu kesempatan, setelah Israel gagal membunuh Nasrallah melalui sebuah serangan ke kediaman dan kantornya di Beirut Selatan, Nasrallah tampil di Al-Manar TV seraya berkata, “Kejutan-kejutan yang saya janjikan kepada kalian akan dimulai sekarang. Kini di tengah lautan, menghadap ke Beirut, kapal perang Israel yang telah menghancurkan infrastruktur sipil dan rumah-rumah warga akan terbakar dan tenggelam di hadapan kalian.”

Tak lama kemudian, kapal perang Israel yang dimaksud, yang telah mengepung Beirut, terbakar. Dan, peristiwa yang mengejutkan ini disiarkan secara luas oleh televisi-televisi.

“Saya janjikan kepada kalian sebuah kemenangan baru, seperti yang selalu saya wujudkan,” kata Nasrallah di awal-awal perang setahun yang lalu.
Dan itu adalah janji lain yang ia tepati.

Di akhir perang, mesin perang digjaya Israel dipaksa untuk menerima gencatan senjata. Terkecuali memporak-porandakan Lebanon, mereka gagal mencapai tujuan mereka untuk menghancurkan Hizbullah dan membunuh Nasrallah.

Orang-orang Arab bergembira. Rakyat Palestina yang Suni menyanyikan lagu pujian bagi kelompok Syiah itu dan Nasrallah mereka juluki sebagai “Rajawali dari Lebanon”. Dia disandingkan dengan Gamal Abdul Nasser dan namanya disebut-sebut di seluruh kawasan.

Namun, ini hanya di antara rakyat biasa, bukan para pemimpin mereka. Mesir, Yordania, dan Arab Saudi, serta semua kediktatoran yang menjadi sekutu Amerika Serikat, terkejut menyaksikan bagaimana Hizbullah mampu mempertahankan tanah mereka dan bahkan memukul balik Israel.
Dari perspektif Israel dan Amerika, dan juga dari negara-negara Arab tersebut, masih ada kesempatan untuk membuat keadaan menjadi seimbang. Dan, perang selanjutnya tampaknya akan dimulai dari dalam, melalui tangan kelompok ekstrimis Salafi yang sengaja disusupkan ke dalam Lebanon oleh pemerintahan saat ini. Jika rencana ini gagal, atau bahkan jika tidak, tidak diragukan lagi Israel akan memikirkan agresi lain, seraya belajar dari kesalahan yang lalu dan mengubah strateginya.
Lalu, apa yang akan menjadi “kejutan” Nasrallah?

Sekali lagi, Ben-Elizer mengatakan, “Dia (Nasrallah) tahu benar dengan apa yang dikatakannya. Jika dia mengatakan 2000 roket, saya mempercayainya, tetapi saya tidak tahu apa kejutan yang dia maksudkan.”

Mungkinkah itu persenjataan yang jauh lebih canggih, sebuah sistem pemandu yang baru, ataukah sebuah misil jarak jauh? Mungkin saja. Namun, Nasrallah dalam pidatonya, yang ditayangkan kepada ribuan massa yang berkumpul di dahiyah (selatan Lebanon), mengatakan bahwa kejutan itu akan “mengubah hasil dari perang dan masa depan kawasan.”

Jika Israel cukup bodoh untuk menyerang lagi, mungkinkah sekali lagi Nasrallah menyatukan Syiah dan Suni, kali ini dalam skala yang jauh lebih besar, melawan intervensi dan pendudukan? Atau menunjukkan bagaimana sebuah gerakan perlawanan populer mampu mengalahkan, lagi dan lagi, sebuah negara militer? Nasrallah telah membantu orang-orang untuk percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menolak kekuasaan pemerintah-pemerintah yang korup, yang berlagak sedang mempertahankan kepentingan nasional mereka tetapi sebenarnya membela kepentingan Israel dan Amerika. Dan jika rezim-rezim yang sama ini sekali lagi hanya menonton secara pasif saat Israel memporak-porandakan Lebanon, maka warga dari negara-negara itu mungkin akan memutuskan untuk mengambil-alih segala urusan ke dalam tangan-tangan mereka sendiri. Dan, semua peristiwa tersebut akan mengubah lanskap Timur Tengah.

Terlepas dari apa pun ia, kejutan Nasrallah hanya akan datang kepada mereka yang percaya bahwa dia tengah menggertak.

Mutiara Hadis Imam Ja‘far as



• “Waspadalah terhadap tiga orang: pengkhianat, pelaku zalim, dan pengadu domba. Sebab, seorang yang berkhianat demi dirimu, ia akan berkhianat terhadapmu dan seorang yang berbuat zalim demi dirimu, ia akan berbuat zalim terhadapmu. Juga seorang yang mengadu domba demi dirimu, ia pun akan melakukan hal yang sama terhadapmu.”

• “Tiga manusia adalah sumber kebaikan: manusia yang mengutamakan diam (tidak banyak bicara), manusia yang tidak melakukan ancaman, dan manusia yang banyak berzikir kepada Allah.”

• “Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu’.” Salah seorang bertanya kepada Imam, “Apakah tanda-tanda tawadhu’ itu?” Beliau menjawab, “Hendaknya kau senang pada majelis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran.”

• Seorang laki-laki seringkali mendatangi Imam Ja‘far as, kemudian dia tidak pernah lagi datang. Tatkala Imam as menanyakan keadaannya, seseorang menjawab dengan nada sinis, “Dia seorang penggali sumur.” Imam as membalasnya, “Hakikat seorang lelaki ada pada akal budinya, kehormatannya ada pada agamanya, kemuliaannya ada pada ketakwaannya, dan semua manusia sama-sama sebagai Bani Adam.”

• “Hati-hatilah terhadap orang yang teraniaya, karena doanya akan terangkat sampai ke langit.”

• “Ulama adalah kepercayaan para rasul. Dan bila kau temukan mereka telah percaya pada penguasa, maka curigailah ketakwaan mereka.”

• “Tiga perkara dapat mengeruhkan kehidupan: penguasa zalim, tetangga yang buruk, dan perempuan pencarut. Dan tiga perkara yang tidak akan damai dunia ini tanpanya, yaitu keamanan, keadilan, dan kemakmuran.”


MUTIARA HADIS IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ AS

قَالَ الإِمَامُ جَعْفَر الصَّادِق ( عَلَيْهِ السَّلاَم ) :
تَحْتَاجُ الإِخْوَة فِيْمَا بَيْنَهُمْ إِلَى ثَلاَثَةِ أَشْيَاءَ ،
فَإِنِ اسْتَعْمَلُوْهَا وَإِلاَّ تَبَايَنُوْا وَتَبَاغَضُوْا ،
وَهِيَ : التَّنَاصُفُ ، وَالتَّرَاحُمُ ، وَنَفْيُ الْحَسَدِ
(تحف العقول : 322)
Imam Ja’far Shadiq as:
Persaudaraan itu haruslah diikuti oleh tiga perkara:
sikap konsekuen, saling menyayangi,
dan mebuang jauh-jauh sifat dengki.
Ketiadaan tiga perkara tersebut akan mengakibatkan persaudaraan berubah menjadi perpisahan dan permusuhan.
(Tuhaf al-‘Uqûl, 322)
قَالَ مُحَمَّد بْنُ زِيَاد الأَزْدِي : سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ فَقِيْهَ الْمَدِيْنَةِ يَقُوْلُ :
كُنْتُ أًدْخُلُ إِلَى الصَّادِق جَعْفَرِ ابْنِ مُحَمَّدٍ (ع) فَيُقَدِّمُ لِيْ مِخَدَّةً، وَيُعَرِّفُ لِيْ قَدْرًا وَيَقُوْلُ : يَا مَالِكُ إِنِّيْ اُحِبُّكَ، فَكُنْتُ أُسِرُّ بِذَلِكَ وَأَحْمَدُ اللهَ عَلَيْهِ ،
قَالَ : وَكَانَ (ع) رَجُلاً لاَ يَخْلُوْ مِنْ إِحْدَى ثَلاَثِ خِصَالٍ :
إِمَّا صَائِمًا، وَإِمَّا قَائِمًا، وَإِمَّا ذَاكِرًا، وَكَانَ مِنْ عُظَمَاءِ الْعِبَادِ، وَأَكَابِرَ الزُّهَّادِ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ اللهَ عَزَّوَجَلَّ، وَكَانَ كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ، طَيِّبَ الْمُجَالَسَةِ، كَثِيْرَ الْفَوَائِدِ
فَإِذَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَآلِهِ اخْضَرَّ مَرَّة، وَاصْفَرَّ اُخْرَى حَتَّى يُنْكِرَهُ مَنْ كَانَ يَعْرِفُهُ.
(بحار الأنوار - العلامة المجلسي ج 47 ص 16)
Muhammad bin Ziyad al-Azdiy:
Saya mendengar Malik bin Anas, ahli fikih Madinah, berkata: Aku mengunjungi rumah Ja’far Shadiq bin Muhammad )as(, segera beliau menyerahkan bantalan (sandaran) bagiku dan mengenalkanku (pada orang lain) dengan kemuliaan dan berkata padaku: “Wahai Malik, aku mencintaimu.”
Aku senang mendengarnya dan bersyukur kepada Allah atas hal itu.
Beliau adalah seorang yang tidak pernah kosong dari salah satu tiga kondisi: berpuasa, shalat, dan zikir.
Beliau adalah salah seorang pembesar hamba Allah, ahli zuhud yang takut kepada Allah Swt, banyak meriwayatkan hadis, sangat ramah dalam majelis dan banyak memberikan kontribusi
Jika beliau menyebutkan nama Nabi di saat meriwayatkan hadis, maka berubahlah wajah beliau kadang hijau dan kadang pucat sehingga orang yang disekitarnya tidak lagi mengenalnya.
(Bihar al-Anwar, juz 47, hal. 16)
قَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ فَقِيْهُ الْمَدِيْنَةِ:
وَلَقَدْ حَجَجْتُ مَعَهُ سَنَةً فَلَمَّا اسْتَوَتْ بِهِ رَاحِلَتَهُ عِنْدَ اْلاِحْرَامِ، كَانَ كُلَّمَا هَمَّ بِالتَّلْبِيَةِ انْقَطَعَ الصَّوْتُ فِي حَلْقِهِ، وَكَادَ أَنْ يَخِرَّ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَقُلْتُ: قُلْ يَا ابْنَ رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ بُدَّ لَكَ مِنْ أَنْ تَقُوْلَ، فَقَالَ: يَاابْنَ أَبِيْ عَامِر كَيْفَ أجْسِرُ أَنْ أَقُوْلَ: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، وَأَخْشَى أَنْ يَقُوْلَ عَزَّوَجَلَّ لِيْ: لاَ لَبَّيْكَ وَلاَ سَعْدَيْكَ
(بحار الأنوار - العلامة المجلسي ج 47 ص 16)
Imam Malik bin Anas menuturkan:
Aku pernah menunaikan ibadah haji bersamanya
(Imam Ja’far Shadiq as).
Di saat tunggangannya berhenti di tempat beliau harus ihram dan mengucapkan talbiyah, beliau menjadi bisu.
Setiap hendak membaca talbiyah terputuslah suara beliau di kerongkongannya & hampir saja tersungkur jatuh dari tunggangannya. Aku berkata kepada beliau, “Wahai putra Rasulullah, Anda harus mengucapkan talbiyah!” Beliau menjawab, “Wahai putra Abu Amir, bagaimana saya bisa berani untuk mengatakan labbayk allahumma labbayk
(ya Allah aku penuhi panggilan-Mu)
sementara aku khawatir Dia Swt menolakku dengan jawaban: Lâ labbayk wa lâ sa’dayk
(Engkau tidak layak memenuhi panggilanku dan tidak ada kebahagiaan untukmu)”
(Bihar al-Anwar juz 47, hal. 16)
قَالَ أَبُوْ بَصِيْر:
دَخَلْتُ عَلَى اُمِّ حَمِيْدَة اُعَزِّيْهَا بِأَبِيْ عَبْدِ الله عَلَيْهِ السَّلاَم فَبَكَتْ وَبَكَيْتُ لِبُكَائِهَا ثُمَّ قَالَتْ : يَا أَبَا مُحَمَّد لَوْ رَأَيْتَ أَبَا عَبْدِ الله عَلَيْهِ السَّلاَم عِنْدَ الْمَوْتِ
لَرَأَيْتَ عَجَبًا فَتَحَ عَيْنَيْهِ ثُمَّ قَالَ : أَجْمِعُوْا لِيْ كُلَّ مَنْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ قَرَابَةٌ،
قَالَتْ : فَلَمْ نَتْرُكْ أَحَدًا إِلاَّ جَمَعْنَاهُ ،
فَنَظَرَ إِلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ :
إِنَّ شَفَاعَتَنَا لاَ تُنَالُ مُسْتَخِفًّا بِالصَّلاَةِ
(بحار الأنوار - العلامة المجلسي ج 47 ص 2)
Abu Bashir, salah seorang sahabat Imam Ja’far Shadiq as berkata:
Saya datang menemui Ummu Hamidah untuk menyampaikan belasungkawa atas kesyahidan suaminya, Imam Ja’far Shadiq as, maka beliau menangis dan saya pun menangis karena tangisannya, kemudian berkata padaku:
“Wahai Abu Muhammad! Andaikan engkau menyaksikan saat-saat terakhir sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya, maka pasti engkau akan terheran-heran. Beliau membuka kedua matanya dan berkata padaku: ‘Kumpulkan semua yang masih ada hubungan kekerabatan denganku!’
Maka tidak ada satupun yang kulewatkan. Setelah semua berkumpul, beliau menatap mereka dan bersabda: ‘
Sungguh syafaat kami tidak akan diterima oleh yang meremehkan salat.’”
(Bihar al-Anwar, juz 47, hal. 2)

Biografi Singkat Imam Ja'far Ash-Shadiq as




Riwayat Singkat

Nama : Ja‘far
Gelar : Ash-Shadiq
Panggilan : Abu Abdillah
Ayah : Muhammad bin Ali Al-Baqir as
Ibu : Ummu Farwah
Kelahiran : Madinah, 17 Rabiul Awal 80 H
Kesyahidan : 25 Syawal 148 H
Makam : Pemakaman Baqi‘, Madinah


Hari Lahir

Imam Ja‘far Shadiq as lahir pada 17 Rabiul Awal 80 Hijriah di Madinah al-Munawwarah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad Baqir as dan ibunya bernama Ummu Farwah, putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.

Bercerita tentang sang ibu, beliau menuturkan, “Ibundaku adalah wanita beriman, bertakwa, dan senantiasa berbuat baik, karena sesungguhnya Allah Swt mencintai orang yang senantiasa berbuat baik.”

Imam Ja‘far Shadiq as hidup sezaman dengan datuknya, Imam Ali Zainal Abidin as selama 15 tahun dan dengan ayahnya, Imam Muhammad Baqir as selama 34 tahun.

Beliau memiliki beberapa gelar terhormat, di antaranya Ash-Shabir (sang penyabar), Al-Fadhl (sang utama), dan Ath-Thahir (sang suci). Gelar beliau yang paling masyhur adalah Ash-Shadiq (sang jujur). Seluruh gelar tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau.

Beliau menyaksikan kezaliman Bani Umayah yang justru meruntuhkan kekuasaan mereka sendiri, sekaligus membukakan jalan bagi Bani Abbasiyah yang mengatasnamakan Ahlulbait untuk mengajak masyarakat bangkit melawan Bani Umayah. Namun, ketika berhasil meruntuhkan kekuasaan Bani Umayah, mereka malah lebih menumpahkan kebenciannya kepada Ahlulbait as.

Imam Ja‘far as hidup di bawah pemerintahan zalim Bani Umayah selama kurang-lebih 40 tahun dan hidup pada masa permerintahan Abbasiyah selama sekitar 20 tahun. Selama itu, beliau menghindar dari kehidupan politik. Sementara pemikiran syirik dan penyelewengan berkembang pesat, beliau lebih banyak menghabiskan waktunya pada pengajaran agama, pendidikan akhlak, dan akidah di tengah masyarakat.

Kondisi yang berkembang waktu itu telah menuntut Imam Ja‘far as untuk berjuang melawan pemikiran syirik, sehingga pada masa beliaulah mazhab Ahlulbait sesungguhnya mengalami perkembangan pesat.

Akhlak Luhur

Zaid bin Tsa’ari al-Ma’ruf berkata, “Pada setiap zaman pasti ada seorang dari Ahlulbait Nabi saw di tengah-tengah kita yang menjadi bukti Allah atas segenap makhluk-Nya. Dan bukti Allah di zaman kita ini ialah anak laki-laki dari saudaraku, Ja‘far bin Muhammad yang tidak akan sesat siapa yang mengikutinya dan tidak akan mendapat petunjuk siapa yang menyimpang darinya.”

Malik bin Anas (Imam Malik) berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang pun melebihi kezuhudan, keutamaan, ibadah, dan kewarakan Ja‘far bin Muhammad. Suatu waktu aku mendatanginya dan beliau sangat memuliakanku.”

Bahkan, Abu Hanifah (Imam Hanafi) pernah belajar kepada beliau selama dua tahun. Dia menuturkan pengakuannya, “Seandainya tidak ada dua tahun, maka Nu’man (Abu Hanifah) pasti binasa.”

Salah satu sahabat beliau meriwayatkan, “Pada suatu hari aku bersama Abu Abdillah (Imam Ja‘far) as. Ketika itu, beliau mengendarai keledai menuju Madinah. Tatkala mendekati pasar, Imam turun dari himarnya lalu sujud kepada Allah cukup lama.

“Aku menunggunya, sampai beliau mengangkat kepalanya. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam! Aku melihat Anda turun dari keledai lalu sujud.’ Beliau membalas, “Sesungguhnya aku teringat nikmat Allah yang begitu melimpah kepadaku. Maka, aku segera melakukan sujud syukur.’”

Pernah juga sahabat itu berkata, “Aku melihat Ja‘far bin Muhammad as sedang mencangkul di kebunnya. Tampak peluh bercucuran dari tubuhnya yang mulia. Kukatakan kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, wahai Imam! Berikanlah cangkul itu kepadaku dan tinggalkanlah pekerjaan ini.’
“Beliau berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya aku senang kepada seseorang yang bersusah payah dan kulitnya terbakar sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.’”

Suatu hari Imam Ja‘far as meminta seorang pembantunya untuk suatu keperluan. Ketika ia tak kunjung kembali, beliau keluar mencarinya dan mendapatinya sedang tidur. Imam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya lalu mengipasinya hingga ia terjaga. Imam mengingatkannya dan berkata kepadanya, “Engkau tidur siang dan malam? Bagimu waktu malam dan bagi kami waktu siang.”

Imam Ja‘far as pernah mengupah beberapa orang untuk bekerja di kebunnya. Sebelum mereka selesai dari pekerjaannya, Imam berkata kepada pembantunya, Mu’tab, “Berikanlah upah mereka sebelum kering keringatnya.”

Ketika telah lewat tengah malam, beliau membawa kantong yang berisi roti, daging, dan dirham (uang perak) yang diletakkan di pundaknya, lalu beliau memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar Madinah, sementara mereka tidak mengetahui siapa yang membagi-bagikan bahan pangan itu. Ketika Imam Shadiq as wafat, mereka baru tahu bahwa yang membagikan bahan pangan kepada mereka selama ini adalah beliau.

Imam Ja‘far dan Sufyan Tsauri

Suatu hari, Sufyan lewat di Masjidil Haram. Dia melihat Imam Ja‘far as memakai mantel bagus yang berharga mahal. Dia berkata kepada dirinya, “Demi Allah, saya akan peringatkan dia.” Lalu dia mendekati Imam dan berkata kepadanya,” Demi Allah, wahai putra Rasulullah! Aku tidak menjumpai pakaian seperti ini dipakai oleh Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan tidak seorang pun dari bapakmu.”
Imam menjawab, “Dahulu, Rasulullah hidup pada zaman yang serba kekurangan, kefakiran, dan kini kita hidup pada zaman kemakmuran, dan orang-orang baiklah yang lebih berhak daripada orang lain atas nikmat Allah.”

Kemudian beliau membacakan firman Allah, “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dan makan bersih yang Allah siapkan untuk hambanya. “Maka, kamilah yang lebih berhak untuk memanfaatkan apa yang diberikan Allah.”

Lalu Imam menyingkap pakaiannya dan tampaklah pakaian dalamnya yang kasar dan kering. Beliau berkata lagi, “Wahai Sufyan, pakaian ini (mantel luar) untuk manusia dan pakaian dalam ini untukku.”

Imam Ja‘far dan Perniagaan

Suatu hari Imam as memanggil pelayannya, Musadif dan memberinya seribu dinar untuk modal berniaga. Imam berkata kepadanya, “Bersiap-siaplah pergi ke Mesir untuk berniaga.”

Ketika barang dagangan sudah dikumpulkan, dia bersiap-siap untuk berangkat bersama kafilah dagang ke Mesir. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah dagang dari Mesir dan mereka menanyakan barang perniagaan dan kebutuhan masyarakat di sana. Mereka mengabarkan bahwa barang yang mereka bawa sekarang tidak ada di Mesir, lalu kafilah dagang itu sepakat untuk mencari keuntungan.

Setibanya di Mesir, mereka menjual barang mereka dengan harga seratus persen keuntungan, kemudian bergegas kembali ke Madinah. Musadif menjumpai Imam Shadiq as sambil membawa dua kantong uang, masing-masing berisi seribu dinar.

Dia berkata kepada Imam as, “Wahai tuanku, ini modal uang dan ini keuntungannya.”
Imam berkata, “Alangkah banyak keuntunganmu. Bagaimana caranya engkau dapatkan keuntungan sebanyak ini?”

Musadif pun menceritakan bagaimana masyarakat Mesir membutuhkan barang yang mereka bawa, dan bagaimana para pedagang sepakat untuk menarik keuntungan satu kali lipat dari setiap dinar modal mereka.

Imam as dengan nada heran berkata, “Mahasuci Allah, engkau sepakat untuk menarik keuntungan dari kaum muslimin dan menjual barang kalian dengan keuntungan satu dinar dari setiap dinar modal kalian?”

Imam lalu mengambil modalnya saja dan berkata, “Ini adalah hartaku dan aku tidak butuh pada keuntungan ini.”

Kemudian berkata, “Wahai Musadif, tebasan pedang lebih ringan perkaranya daripada mencari harta halal.”

Pada suatu waktu, seorang fakir pernah meminta bantuan kepada Imam Ja‘far as. Lalu beliau berkata kepada pembantunya, “Apa yang ada padamu?” Pembantu itu menjawab, “Kita punya empat ratus dirham.”

Imam berkata lagi, “Berikanlah uang itu kepadanya!” Orang fakir itu mengambilnya dan pamit dengan segunung rasa syukur.

Imam meminta kepada pembantunya, “Panggil dia kembali!” Si fakir itu berkata keheranan, “Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali?”

Imam berkata, “Rasululah saw bersabda, ‘Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi.’ Dan kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi. Maka, ambillah cincin ini. Harganya 10 ribu dirham. Jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini dengan harga tersebut.”
Berbakti kepada Ibu

Seorang pemuda beragama Nasrani (Kristen) yang baru saja masuk Islam menjumpai Imam Ja‘far Shadiq. Imam memanggilnya dan berkata, “Katakanlah apa yang kau butuhkan?”

Pemuda itu berterus terang, “Sesungguhnya ayah dan ibuku serta seluruh keluargaku beragama Nasrani. Ibuku matanya buta dan aku hidup bersama dengan mereka dan makan dari bejana mereka.”

Imam as berkata, “Apakah mereka makan daging babi?”

Pemuda itu menjawab, “Tidak.”

Imam as berkata, “Makanlah bersama mereka, dan aku wasiatkan kepadamu untuk tidak merasa berat dalam berbuat baik kepada ibumu, dan penuhilah segala keperluannya.”

Pemuda itu kembali ke Kufah. Setibanya di rumah, sang ibu mendapatinya begitu patuh dan saleh, berbeda dengan kondisi sebelumnya.

Dia berkata, “Wahai anakku, kau tidak pernah melakukan hal seperti ini ketika kau masih memeluk agama Nasrani. Lalu gerangan apakah semua yang kuliat ini semenjak kau berpindah agama dan masuk Islam?”

Pemuda itu menjawab, “Aku diperintahkan melakukan semua ini oleh seorang laki-laki dari keturunan Nabi Muhammad saw.”

“Apakah dia seorang nabi?” tanya sang ibu.
Pemuda itu menjawab, “Bukan, ia hanyalah keturunan nabi.”
Akhirnya, sang ibu pun mengakui, “Agamamu sungguh sebaik-baik agama. Ajarkanlah agamamu kepadaku.”

Lalu pemuda itu menyambut permintaannya, hingga ia pun masuk Islam dan menunaikan salat sesuai yang diajarkan anaknya yang saleh itu.

Imam Ja‘far dan Penimbun Barang

Imam Ja‘far Shadiq as berkata, “Masa menimbun barang pada musim subur (panen); yaitu empat puluh hari dan tiga hari pada musim paceklik. Maka, barang siapa yang melampaui empat puluh hari pada musim subur, sungguh ia akan terlaknat, dan barang siapa yang melampaui tiga hari ketika musim paceklik, dia pun akan terlaknat.”

Beliau berkata kepada pembantunya ketika masyarakat dalam keadaan hidup susah, “Belilah biji gandum dan campurlah makanan kami (dengan bahan lain), karena kami dimakruhkan makan makanan yang enak sementara masyarakat makan makanan yang tidak enak.”

Suatu malam, gelap gulita menyelimuti kota Madinah. Mu'alla bin Khunais melihat Imam Ja‘far as menerobos kegelapan malam di bawah guyuran hujan sambil memikul roti sekarung penuh. Lalu dia mengikuti beliau untuk mengetahui ihwal rota yang dibawanya. Tiba-tiba beberapa potong roti itu jatuh berserakan. Imam as memungutnya dan terus melanjutkan perjalanannya hingga sampai di tempat orang-orang miskin yang sedang tidur. Imam as meletakkan dua potong roti di samping kepala mereka.

Mu’alla mendekati Imam as. Setelah memberi salam, dia bertanya, “Apakah mereka dari pengikut setiamu?” Beliau menjawab, “Bukan.”

Imam Ja‘far as juga banyak menanggung nafkah sejumlah keluarga. Beliau membawakan mereka makanan pada malam hari sementara mereka sendiri tidak mengetahui. Hingga ketika beliau wafat, terputuslah santunan yang biasa datang pada malam hari. Mereka sadar bahwa yang membawa itu ternyata sang Imam as.

Suatu masa, Madinah dilanda musim kemarau. Gandum begitu langka di pasar. Imam Ja‘far as bertanya kepada pembantunya, Mu'tab tentang persediaan yang dimiliki. Mu'tab menjawab, “Kita punya cukup persediaan untuk beberapa bulan.”

Beliau memerintahkan untuk membawa dan menjualnya di pasar. Mu'tab heran dan memprotes. Akan tetapi, tidak ada faedahnya.

Basyar Mukkari meriwayatkan, “Aku mendatangi Ja‘far Shadiq as, sementara beliau tengah memakan kurma yang berada di tangannya. Beliau berkata, ‘Wahai Basyar, kemarilah dan makanlah bersama kami.’

Aku berkata, ‘Semoga Allah membahagiakanmu, nafsu makanku hilang karena aku melihat sebuah kejadian di tengah jalan tadi yang menyakitkan hatiku. Aku melihat tentara memukuli seorang perempuan dan menyeretnya untuk dijebloskan ke penjara. Perempuan itu meratap, ‘Aku memohon perlindungan kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Lalu aku mencari tahu tentang nasib perempuan tersebut. Orang-orang mengatakan bahwa dia tergeletak di jalan. Aku berkata, ‘Semoga Allah melaknat orang yang menzalimimu, duhai Fatimah.’

Imam berhenti makan dan menangis. Air matanya membasahi sapu tangannya. Lalu beliau bangkit dan pergi ke mesjid untuk mendoakan perempuan itu.

Perempuan miskin itu tidak lama tinggal mendekam di penjara. Imam as mengirimkan kepadanya sebuah kantong kecil yang berisi tujuh keping dinar.

Universitas Islam

Dinasti Umayah, yang diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, senantiasa berusaha menumpas Ahlulbait as dan mengusir para pengikut mereka di segala penjuru.

Dalam keadaan buruk demikian itu, masyarakat menuntut ilmu dan riwayat dari Ahlulbait dengan sembunyi-sembunyi dan rasa takut.

Ketika keadaan itu berlanjut sampai pada masa Imam Muhammad Baqir as dan putranya, Imam Ja‘far Shadiq as, mereka berdua memusatkan perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkuat asas keimanan di hati masyarakat.

Pada zaman Imam Ja‘far as, begitu banyak pemikiran dan kepercayaan sesat yang menggoncang keimanan masyarakat, lalu Imam bekerja keras memeranginya.

Dalam rangka itu, beliau mendirikan sebuah universitas Islam besar pertama, dan berhasil melahirkan lebih dari empat ribu sarjana di berbagai bidang ilmu agama, matematika, kimia, hingga kedokteran.

Tengoklah Jabir bin Hayyan, seorang ahlil kimia yang termasyhur itu. Ia mengawali pandangan-pandangan ilmiahnya dengan ungkapan, “Tuanku Ja‘far bin Muhammad Ash-Shadiq as telah mengatakan kepadaku ….”

Imam Ja‘far as sangat memuliakan para ilmuwan yang bertakwa, memberikan semangat, dan menjelaskan metodologi penelitian dan dialog yang benar kepada mereka dalam menegakkan agama dan memperkokoh dasar-dasar keimanan.

Beliau merasa sangat sedih tatkala menyaksikan para pemikir yang berusaha mengacaukan keyakinan masyarakat dengan menyebarkan berbagai pemikiran sesat.

Pernah suatu hari, empat pemikir sesat berkumpul di Makkah. Mulailah mereka memperolok para jemaah haji yang sedang bertawaf di seputar Ka’bah.

Selain itu, mereka berempat sepakat untuk menyanggah al-Quran dengan cara mengarang kitab yang serupa. Mereka pun membagi tugas yang masing-masing pemikir mempelajari seperempat dari al-Quran untuk disanggah, dan berjanji untuk bertemu lagi pada musim haji tahun depan.

Genap satu tahun kemudian, empat pemikir itu kembali berkumpul di Makkah. Pemikir pertama mengatakan, “Saya telah menghabiskan waktuku selama setahun hanya untuk memikirkan ayat yang berbunyi, ‘Maka tatkala mereka putus asa [terhadap hukuman Nabi Yusuf], mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik .’ (QS. Yusuf:80) Sungguh kefasihan ayat ini melumpuhkan pikiranku.”
Pemikir kedua menyahut, “Ya, aku juga memikirkan ayat yang berbunyi, ‘Hai manusia, telah diberikan sebuah perumpamaan, maka simaklah dengan seksama, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kamu sebut selain Allah sama sekali tidak mampu menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.’ (QS. Al-Hajj:73). Sungguh Aku tidak sanggup menciptakan seindah ayat ini.”

Tanpa membuang waktu, pemikir ketiga pun menyambungnya, “Aku sudah memikirkan ayat ini, ‘Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, tentulah keduanya hancur….’ (QS. Al-Anbiya’:22) Sungguh aku begitu lemah untuk membuat padanannya.”

Akhirnya tibalah giliran pemikir keempat menyatakan pengakuannya, “Sesungguhnya Al-Qur'an ini bukanlah buatan manusia. Aku telah menghabiskan setahun penuh hanya untuk merenungkan ayat ini, ‘Dikatakan, 'Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit [hujan] berhentilah, dan air pun disurutkan, perintah pun terlaksana, dan bahtera itu pun berlabuh di bukit Judi [dekat Armenia daerah Mesopatomia], dan dikatakan binasalah orang-orang Zalim.’” (QS. Hud:44)

Ketika itu, Imam Ja‘far as. lewat di hadapan mereka. Sejenak memandang mereka, beliau membacakan firman Allah, “Seandainya segenap manusia dan jin bersatu untuk membuat padanan al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (QS. Al-Isra’:88)

Mazhab Ja‘fariyah

Mazhab Ahlulbait as berkembang pada masa Imam Ja‘far as, dan pengikutnya terus bertambah pesat, sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab Syi‘ah dengan mazhab Ja‘fariyah, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja‘far Ash-Shadiq as.

Tentu saja tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab Ja‘fariyah adalah Mazhab Imam Ali bin Abi Thalib as yang telah dikhianati dan dibunuh oleh kaum Khawarij, mazhab yang menyebabkan Imam Hasan as tewas diracun oleh Muawiyah, mazhab yang menyebabkan Imam Husain as mencapai syahadahnya pada Hari Asyura (di Padang Karbala pada 10 Muharam).

Rasulullah saw telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan keluarga beliau (Ahlulbait as). Sayang sekali, kaum muslimin telah melupakan wasiat tersebut. Ada sebagian yang telah menyimpang jauh sampai merampas hak kepemimpinan mereka dan menyebarkan kerusakan dan kezaliman. Ada pula penguasa-penguasa yang mengasingkan mereka dan para pengikutnya, bahkan tak segan-segan membunuh dan merencanakan kekejian terhadap mereka, seperti yang terjadi di Karbala.

Kaum muslimin mulai menyadari bahwa sikap menyia-nyiakan wasiat Rasulullah saw itu merupakan kerugian besar. Pada saat yang sama, mereka takut terhadap ancaman penguasa, bahkan ada di antara mereka yang menyembunyikan kepercayaan dan kesetiaannya kepada Ahlulbait as demi keselamatan hidupnya.

Imam Ja‘far dan Manshur Dawaniqi

Kaum muslimin jenuh dan geram terhadap pemerintahan Bani Umayah yang zalim. Dalam keadaan demikian itu, terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan kegeraman muslimin itu serta dan keberpihakan mereka kepada Ahlulbait Rasul as demi kepentingan pribadi.

Lantaran hasutan orang-orang itu, kaum muslimin mulai melakukan pembangkangan terhadap Bani Umaiyah dengan membawa-bawa nama Ahlulbait. Sementara itu Bani Abbasiyah segera giat menyalahgunakan kondisi tadi dengan mengajak kaum muslimin agar meneriakkan slogan “Kesetiaan pada Ahlulbait Muhammad.”

Slogan yang digemakan itu sangat membantu menyebarkan siasat Bani Abbasiyah. Pemberontakan mulai meletus di Khurasan yang dengan cepat mendapat gelombang dukungan dari masyarakat luas, hingga mereka bisa menggulingkan pemerintahan Bani Umayah.

Maka, terjadilah pergantian kekhalifahan. Bani Abbasiyah mulai melakukan pembagian kekuasaan dengan mitra politiknya dan mulai mengusir—bahkan—keturunan-keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as, di manapun mereka ditemukan. Mereka melakukan kejahatan itu semua dengan sangat hati-hati.
Khalifah pertama Bani Abbasiyah ialah Manshur Dawaniqi. Dia menjalankan pemerintahan tangan besi dan merencanakan pembunuhan atas setiap penentangnya. Dia membunuh Muhammad dan saudaranya, Ibrahim, yang keduanya adalah dari keturunan Imam Hasan as.

Manshur juga menyebarkan mata-matanya di setiap kota. Secara khusus dia memerintahkan gubernur Madinah untuk mewaspadai setiap gerak gerik Imam Ja‘far as.

Pernah suatu kali Manshur mengundang Imam Ja‘far as dan berkata, “Mengapa engkau tidak mengunjungi kami sebagaimana orang-orang mendatangi kami?”

“Tidak ada urusan dunia yang membuat kami kuatir terhadapmu, dan tidak ada pula urusan akhiratmu yang bisa kami harapkan darinya. Begitu pula, tidak ada kenikmatanmu yang bisa kami syukuri, dan tidak pula kesusahanmu yang bisa kami sesalkan”, jawab Imam as.
Dengan liciknya, Manshur menawarkan, “Kalau begitu, jadilah temanku agar engkau bisa menasiatiku?”

Imam as kembali menjawab, “Siapa saja yang menginginkan dunia, ia tidak akan menasihatimu, dan siapa saja yang menginginkan akhirat, ia pun tidak akan menjadi temanmu.”

Manshur memerintahkan gubernurnya di Madinah untuk mengikis habis citra dan pengaruh besar Imam Ali bin Ali Thalib as di sana.

Hingga pada suatu hari, guberbur Madinah naik mimbar dan mulai mencaci maki Imam Ali as serta keluarganya. Tiba-tiba Imam Ja‘far as bangkit dan berkata, “Adapun sanjungan yang telah kau sampaikan, maka kamilah pemiliknya, dan segala hujatan yang telah kau katakan, maka kau dan sahabatmulah (Manshur) yang lebih pantas menjadi sasarannya.”

Lalu Imam as menoleh kepada khalayak sembari berkata, “Aku peringatkan kepada kalian akan orang yang paling ringan timbangan amalnya, yang paling jelas merugi di Hari Kiamat, dan yang paling celaka keadaannya. Yaitu, orang yang menjual akhirat dengan kesenangan duniawi orang lain. Orang itu adalah gubernur yang fasik ini.”

Gubenur itu segera turun dari mimbar sambil menanggung segunung rasa malu dan hina.

Dikisahkan, pada suatu saat di sebuah ruang pertemuan, ada seekor lalat bermain-main di hidung Manshur. Berulang kali dia mengusirnya. Lalat itu tetap saja kembali, sehingga dia merasa kesal dan berang. Ia berpaling kepada Imam Ja‘far as dan berkata, “Untuk apa Allah menciptakan lalat?”
“Untuk menghinakan hidung orang sombong.” Jawab Imam as.

Manshur begitu geram. Dia tak tahan lagi melihat keberadaan Imam as di bawah pemerintahannya. Untuk itu, dia merencanakan pembunuhan atas beliau. Akhirnya, dia pun berhasil meracuni beliau.
Imam Ja‘far as meninggal syahid pada 25 Syawal. Tubuhnya yang suci dikebumikan di pemakaman Baqi‘, Madinah Munawwarah.[]