Popular Posts
-
Kami ucapkan Selamat Hari Wanita Sedunia buat semua. Hari ini adalah hari yang penuh bahagia dan keberkatan,hari yang mengilhamkan nilai-ni...
Tuesday, April 17, 2007
Mengapa Kita Mesti Mencintai Rasulullah
“YA RASULULLAH, sungguh engkau lebih kucintai daripada diriku dan anakku,” kata seorang sahabat suatu hari kepada Rasulullah Muhammad saw. “Apabila aku berada di rumah, lalu kemudian teringat kepadamu, maka aku tak akan tahan meredam rasa rinduku sampai aku datang dan memandang wajahmu. Tapi apabila aku teringat pada mati, aku merasa sangat sedih, karena aku tahu bahwa engkau pasti akan masuk ke dalam surga dan berkumpul bersama nabi-nabi yang lain. Sementara aku apabila ditakdirkan masuk ke dalam surga, aku khawatir tak akan bisa lagi melihat wajahmu, karena derajatku jauh lebih rendah dari derajatmu.”
Mendengar kata-kata sahabat yang demikian mengharukan hati itu, Nabi tidak memberi sembarang jawaban sampai malaikat Jibril turun dan membawa firman Allah berikut:
Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah; yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang se-baik-baiknya (QS. 4:69).
Cinta kepada Nabi seperti yang dapat kita simpulkan dari riwayat di atas memiliki implikasi yang sangat luas, baik secara teologis, psikologis dan sosio-logis bahkan secara eskatologis sekalipun. Dalam sebu-ah hadis Nabi pernah bersabda bahwa keimanan sese-orang harus diukur dengan barometer cintanya kepada Nabinya. La yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba ilaihi min nafsihi …, “Tidak beriman seseorang sehingga aku (Nabi) lebih ia cintai ketimbang dirinya sendiri…”
Mencintai Rasulullah menjadi sebuah keharu-san dalam iman. Ia menjadi prinsip, bukan opsi atau pilihan yang notabenenya adalah mau atau tidak. Se-orang Muslim harus menyimpan rasa cinta kepada Na-binya, seberapapun kecilnya. Idealnya ia mencintainya lebih dari segala sesuatu yang ia miliki, bahkan dirinya. Dan itulah pada hakikatnya iman yang paling sempur-na.
Cinta memang duduk sebagai sebuah landasan untuk mengetahui siapa Muhammad saw. Karena itu cinta akan menjadi sebagai pengantar yang membawa kita bisa mengenalnya lalu kemudian mencerminkan diri padanya. Untuk mengenal Muhammad memang kita harus memulai dengan membaca riwayat hidupnya. Data-data historis tentang Muhammad pasti menyim-pan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga. Namun yang harus kita ingat bersama adalah jangan mengukur kesalehan Muhammad hanya lewat deskripsi historis semata-mata. Sebab data-data historis tersebut tidak lebih dari sebuah deskripsi lahiriah yang kurang sarat dengan substansi “keilahian” Muhammad saw. Semen-tara keagungannya justru ada pada maqam keilahiannya yang sangat tinggi seperti yang sering kita dengar da-lam sebuah doa tentangnya, “wa ib’atshu maqâmam mahmudalladzi wa’adtahu…”
Ketinggian maqam Muhammad tentu bukan hal yang mudah untuk diketahui. Bahkan hampir-hampir mustahil. Namun dengan melihat hadis berikut mung-kin saja bisa mengantar kita untuk sedikit mengetahui siapa itu Muhammad lewat lisannya sendiri.
Nabi saw bersabda “Aku adalah Ahmad tanpa mim (m)”. Ahmad tanpa mim (m) akan berarti ahad (Esa), yang merupakan sifat Allah yang sangat unik. Mim yang merupakan simbol personafikasi dan manifestasi Allah dalam diri Muhammad pada hakekatnya adalah bayangan Ahad yang ada di alam semesta. Mim adalah wasilah antara makhluk dengan Khaliqnya. Mim ada-lah jembatan yang menghubungkan para kekasih Allah dengan Sang Kekasihnya yang mutlak. Dengan kata lain Muhammad adalah mediator antara makhluk dengan Allah Swt. Dialah mazhar al-Haq atau tempat kebenaran dan realitas Allah menampak di dunia ini. Dialah “Zahir”nya Allah di tengah makhluk-makhluk-Nya. Dialah aktivitas Allah yang dapat dilihat manusia dengan matanya, karena Allah Swt sendiri tak dapat dilihat. Iqbal berkata,
Duhai Rasul Allah
Dengan Allah aku berbicara melalui tabirmu
Denganmu tidak
Dialah Batinku
Dikaulah Zahirku
Menurut Iqbal, Muhammad benar-benar berfungsi “mim” yang “membumikan” Allah dalam kehidupan manu-sia. Dialah “Zahir”nya Allah; dialah Syâfi’ (yang memberikan syafaat, per-tolongan dan rekomen-dasi) antara makhluk dengan Tuhannya. Keti-ka Anda ingin merasakan kehadiran Allah dalam diri Anda, hadirkan Mu-hammad. Ketika Anda ingin disapa oleh Allah, sapalah Muhammad. Ke-tika Anda ingin dicintai Allah, cintailah Muham-mad. Qul inkuntum tuhib-bûnallâh fat tabi’ûnâ yuh-bibkumullâh, “apabila kali-an cinta kepada Allah maka ikutilah aku (Muhammad) kelak Allah akan cinta kepada kalian.”
Kepada orang seperti inilah kita diwajibkan cin-ta, berkorban dan bermohon untuk selalu bersamanya, di dunia dan akhirat. Sebab seperti kata Nabi, “Setiap orang akan senantiasa bersama orang yang dicintai-nya.”
Bukankah setiap kali kita mencintai sesuatu ma-ka kita akan mencari tahu segala hal yang berkaitan dengannya. Bahkan mungkin kita ingin menghadir-kannya selalu dalam liku-liku hidup kita. Bila Anda mencintai Imam Khomeini, misalnya, maka untuk cin-ta itu Anda akan melakukan banyak hal seperti me-nyimpan posternya, buku-bukunya, artikel-artikel yang ditulis tentangnya bahkan mungkin namanya. Cinta memang laksana air mengalir yang memindahkan se-luruh sifat dan karakter si kekasih kepada kita yang mencintainya.
Manfaat Cinta kepada Nabi Muhammad
Ketika Allah mewajibkan umat manusia untuk mencintai Nabi Muhammad saw, maka instruksi tersebut jelas bukan sebuah perintah tanpa tujuan. Ka-rena mustahil Allah akan memerintahkan sesuatu yang sia-sia. Tetapi tujuan tersebut juga bukan sesua-tu yang kepentingannya akan kembali kepada Allah atau Rasul-Nya, karena Allah Swt Mahakaya dari butuh pada sesuatu; dan Rasul-Nya juga tidak butuh pada interest terten-tu. Dengan demikian mencintai Rasulullah ada-lah sebuah perintah yang manfaatnya semata-mata untuk kepentingan manu-sia itu sendiri. Lalu, apa manfaat dari mencintai Rasulullah?
Ada manfaat yang instant dan ada juga yang jangka panjang. Di antara manfaat yang sege-ra akan kita rasakan ada-lah terpautnya hati ini pa-da pribadi Muhammad saw. Apabila kita jujur da-lam mencintai Muhammad, maka hati kita akan merindukan Muhammad; sama persis seperti tokoh kita di atas merindukan Rasulullah. Bedanya adalah dia bisa mengobati rindunya dengan mendatangi Muhammad secara langsung. Sementara kita mengobati rindu dengan hanya menyebut-nyebut namanya. “Barang siapa mencintai sesuatu maka dia akan menyebut-nyebutnya,” kata Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.
Apabila kita jujur dalam mencintai Muham-mad, maka jiwa kita akan terbentuk dan tercermin pada jiwa Muhammad saw. “Bukti cinta adalah mendahulu-kan sang kekasih di atas selainnya,” begitu kata Imam Ja’far al-Shadiq as.
Apabila kita jujur mencintai Muhammad, ma-ka kita akan berupaya mencari tahu segala sesuatu ten-tang dirinya; kehidupan pribadinya, kehidupannya da-lam keluarga, dengan sesama saudara, dengan ling-kungannya, dan lain sebagainya. Apabila kita ingin mengetahui sejarah Muhammad dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pribadi manusia yang agung ini, hendaklah diawali dengan rasa cinta terlebih dahu-lu. Apabila sudah tertanam rasa cinta, maka akan timbul sikap sungguh-sungguh untuk mengetahuinya secara akurat dan mendalam. Pengetahuan yang tidak dilan-dasi pada dasar cinta akan berakibat rancu, setengah-setengah dan kurang sempurna. Dari situ kita akan mengetahui mengapa Allah Swt mewajibkan kita un-tuk mencintai Muhammad saw, bahkan sebelum kita mengetahuinya sekalipun.
Di antara manfaat jangka panjang dari rasa cinta kita pada Muhammad saw adalah seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat yang kita kutip di atas; bahwa dia kelak akan bersama para nabi, shid-diqin, syuhada dan orang-orang saleh. Bahkan dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda:
Cinta padaku dan cinta pada Ahli Baitku akan membawa manfaat di tujuh tempat yang sangat mengerikan: di saat wafat, di dalam kubur, ketika dibangkitkan, ketika pembagian buku-buku catatan amal, di saat hisab, di saat penimbangan amal-amal dan di saat penitian shirat al-mustaqim.
Cinta Murni dan Cinta Semu
Ada dua jenis kategori cinta. Pertama, cinta yang berakhir dengan kebosanan. Untuk ini kita sebut saja dengan cinta semu. Kita cinta pada dunia, harta, anak-istri dan sebagainya. Cinta kita pada mereka ti-dak selamanya meluap-luap bak api membara. Ada saatnya cinta kita redup, bahkan kadang-kadang mati sama sekali. Kita mencintai anak kandung kita. Tapi apabila tiba-tiba dia durhaka pada orangtua, maka cin-ta bisa berbalik murka. Kita cinta pada dunia kita, yang halal tentunya. Tapi kadang-kadang timbul kebo-sanan sedemikian rupa sehingga kita meninggalkan-nya secara total. Cinta seperti itu adalah cinta semu, sebuah cinta yang berakhir pada kebosanan.
Kedua, cinta murni. Jenis cinta ini adalah cinta yang senantiasa hangat dan membara. Dengan cinta itu dia mengejar kekasihnya, melakukan sesuatu karena kekasihnya, bahkan mau mati semata-mata kare-na kekasihnya. Cinta seperti ini adalah cinta yang tidak pernah bosan dan berakhir. Cinta murni adalah sebu-ah cinta yang terbit untuk Allah Swt. Imam ‘Ali berka-ta: “Cinta pada Allah adalah api yang membakar segala sesuatu yang dilewatinya.” Karena cinta pada Allah, maka orang-orang mukmin mau mati di jalan-Nya. Cinta pada Allah memang bisa membakar setiap usaha yang menghalanginya.
Imam al-Shadiq berdoa:
Tentu cinta pada Allah adalah sejenis cinta murni. Tidak terselubung di dalamnya rasa benci, eng-gan dan murka. Cinta pada Allah adalah cinta pada kemutlakan; cinta yang tidak bertepi dan tidak ber-ujung. Tapi bagaimana dengan cinta pada Muhammad saw? Apakah cinta kepada Muhammad yang diwajib-kan Allah kepada kita adalah sejenis cinta semu atau cinta murni. Nabi saw bersabda:
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
Melihat hadis ini dan hadis-hadis sejenis yang lain terasa bahwa tuntutan untuk mencintai Muham-mad dan keluarganya bukan sejenis cinta semu yang kapan pun boleh hilang atau dihilangkan. Secara ver-tikal, ketika kita mencintai mereka sebenarnya kita juga mencintai Allah dan ketika kita membenci mereka kita pun membenci Allah.
Tinggalkan Jubah Kemunafikan
Hidupkan Kebersamaan Memerangi Sifat Munafik
Unsur yang paling penting dan diinginkan oleh setiap manusia adalah kebahagiaan. Kata para psikolog, faktor pendukung kebahagiaan itu adalah terpenuhinya secara sempurna kebutuhan material dan spritual manusia. Kondisi ruhani seperti ini memberikan kebesaran dan kemurnian kepada kehidupan, dan membimbing manusia menuju ke puncak kemuliaan dan keluhuran. Secara fitrawi semua manusia mempunyai kesamaan dan harapan (das saint dan das sollen). Tetapi mereka berbeda untuk mengapresiasikan kemampuan berfikirnya. Kebiasaan dan wataknya pun berbeda, sehingga berpengaruhi secara langsung dalam setiap proses interaksi sosial. Pada tingkatan selanjutnya akan membedakan kedudukan dan status sosialnya.
Secara sunnatullah manusia ditugasi oleh Allah Swt di alam ini untuk berusaha mengembangkan kreatifitas dan menumbuhkan kesadarannya. Pengembangan wawasan berfikir akan meningkatkan pengetahuan dan memperkuat ruhaninya untuk mencapai kesempurnaan. Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah engkau menjadi pemilik ilmu, atau penjaga ilmu, atau pendengar ilmu atau pencari ilmu dan janganlah kamu menjadi perusak ilmu.” Dengan demikian manusia berada di dunia ini untuk membekali dirinya guna memenuhi berbagai tugas kewajibannya. Pemilikan terhadap ilmu akan membangun suatu kepribadian yang sehat dan jujur, dan akan berbuat di atas jalan kebahagiaan. Seorang yang bekerja dengan kesungguhan pada jalan ini akan menyadari makna keberhasilan yang sesungguhnya. Dan tidak ada yang mampu untuk mengalahkan pengaruh kejahatan manusia dan iblis selain pribadi yang mumpuni dan tawadhu dalam tingkatan pengetahuannya yang dengannya manusia akan terhindar dari kejahilan.
Pembentukan karakter manusia selain berbanding lurus dengan latar pengetahuan dan interaksi sosialnya. Karenanya semua watak dan kebiasaan ikut ambil bagian dalam menentukan masa depan manusia. Perasaan dan pemikiran manusia terutama pada pertumbungan dan perkembangan akhlak serta tingkah laku setiap orang terus menerus berubah menuju kesempurnannya atau bahkan sebaliknya.
Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan dan menyempurnakan kepribadian adalah mempelajari dan menggali daya dan kemampuan tersembunyi dalam diri. Pada saat yang bersamaan mempersiapkan diri untuk menghilangkan segala faktor yang dapat menimbulkan penyakit yang dan menghalangi terbentuknya potensi kebaikan. Dengan itu kemudian manusia dapat mensucikan dirinya dari segala kerendahan. Rasulullah saw bersabda, “Seorang munafik bagaikan seekor domba yang kebingungan dalam memilih di antara dua kawanannya.”
Setiap perkataan tidak pernah mempunyai makna nilai yang riil kecuali bila keluar dari kedalaman eksistensinya sendiri. Kata-kata mengejewantahkan cerapan pikiran. Ketika kata-kata bertentangan dengan tindakan, dapat dipastikan itu keluar dari kepribadian yang tidak tulur dan tidak stabil yang akan mengakibatkan kehancuran pribadinya. Dengan situasinya sedemikian itu perangkap kemunafikan telah mulai menjalar dan merasuk dalam dirinya.
Tak pelak lagi bahwa sifat kemunafikan adalah salah satu sifat yang menjijikkan. Adalah fitrah manusia untuk meningkatkan martabat pribadinya. Namun ketika manusia telah terkotori dengan perkataan dusta, pengingkaran janji dan pelanggaran-pelanggaran persetujuan. Allah Swt berfirman, “Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya orang-orang yang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai pelindung, lalu mereka menghalanginya (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amal buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS,63:1-2). Kemunafikan menemukan bentuknya sendiri dan bersiap untuk merasuki dan membimbing watak-watak yang kotor ini. Kemunafikan berkembang dalam keadaan seperti ini hingga akhirnya menjadi penyakit kronis yang mematikan. Sedemikian dahsyatnya sehingga dapat mematikan semua potensi dan cita rasa untuk menggapai kebenaran. Bahkan dapat menjadi tembok-tembok pembatas yang akan mengerus semua jalan menuju kemuliaan.
Manusia yang terserang wabah penyakit ini, setiap perilakunya dikemasi sedemikian rupa sehingga nampaknya baik dan penuh persahabatan. Menuturkan pujian dan penghormatan yang berlebihan sebagai alat untuk menipu dan mempecundangi orang lain. Pujian yang keliru dan penerimaan yang berlebihan atas berbagai kehendak merupakan ciri utama dari kemunafikan. Imam Sayyid Ja’far Shadiq berkata, “Seorang munafiq mempunyai tiga tanda, lidahnya bertentangan dengan hatinya, hatinya bertentangan dengan perilakunya, penampilannya bertentangan dengan bathinnya (keperacayaannya).”
Apabila orang munafik tidak mampu menarik perhatian orang yang berurusan dengannya atau tidak memperoleh kehormatan, hatinya pun merasakan kehinaan dan kebencian. Usahanya untuk menyembunyikan fakta-fakta dibalik dusta membuat kehidupannya tidak aman, tidak stabil dan gelisah, karena ketakutan akan terbongkar kedok dirinya. Psikolog dan Ulama Islam Sayyid Mujtaba Musawi Lari berkata, “orang munafik itu lebih berbahaya dari pada musuh yang membelot. Setiap musuh mempunyai watak jahat, baik yang tersembunyi ataupun yang terang-terangan; karena rasa benci hanya mempunyai satu warna. Tak syak lagi bahwa teman yang munafik lebih buruk dari kemunafikan itu sendiri.”
Faktor-faktor penyebab penderitaan sosial karena kemunafikan telah berkembang sedemikian sehingga untuk menemukan manusia yang memiliki sifat-sifat jujur dan ikhlas bagaikan mencari semut hitam di tengah malam yang gelap. Kepercayaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya telah hilang, dan semua hubungan inter personal dipenuhi dengan rasa tidak aman dan curiga. Jika kemunafikan telah memasuki struktur pranata sosial ditambah dengan ramuan dusta dan kerendahan maka dapat dipastikan masyarakat seperti ini akan menghadapi malapetaka kehancuran yang tidak dapat dielakkan.
Memberantas Sarang Kemunafikan
Pernahkan anda mendengar peristiwa pengkhianatan yang dilakukan kaum Nabi Musa as? Ataukah peristiwa rencana pembunuhan terhadap Nabi Allah Isa as serta rencana sistematis untuk menggelapkan ajarannya di dalam kitab injil oleh pengikutnya sendiri? Ataukah kisah kemunafikan yang pernah dilakukan oleh orang sekitar Nabi Muhammad saw. Ataukah mendengar kisah disersinya pasukan Nabi dari suatu peperangan dan meninggalkan Rasulullah di tengah-tengah amukan pasukan musuh? Peristiwa uhud yang porak-poranda dan mengakibatkan sekian banyak sahabat Nabi terbunuh dan terluka serta terbunuhnya pama Nabi Hamzah ra denga sangat menggenaskan. Semua peristiwa di atas dalam catatan sejarah semuanya diawali dengan sebuah sumpah setia tapi kemudian menolak dan bahkan meninggalkan tugas-tugasnya. Oleh Allah Swt mengutuk sepenuhnya dan mengkategorikan sebagai kelompok orang-orang munafik.
Orang-orang munafik juga oleh Allah disebut sebagai kelompok yang destruktif dan anarkis. Mereka sanggup melakukan pengrusakan walaupun harus menempuh berbagai cara. Mulai dengan menunjukkan perbuatan yang paling baik dan indah sampai kepada perbuatan yang paling kotor dan menjijikkan. Imam Ali kw berkata, “Sadarilah akan orang-orang munafik karena mereka itu tersesat, menyesatkan dan pemimpin kepada jalan yang bathil, hati mereka sakit namun penampilan mereka kelihatan amat suci.” Keadaan mereka laksana binatang bunglon yang mampu berpenampilan sesuai dengan komunitas dan lingkungannya tetapi bersiap untuk melakukan aksi yang mematikan.
Dengan adanya gejala kehidupan manusia yang serba dipenuhi dengan berbagai pemenuhan kebutuhan hasrat (desire) mulai dari hasrat politik, hasrat berkuasa, hasrat ekonomi untuk menjadi kaya, hasrat sosial budaya untuk ketenaran dan hasrat-hasrat lainnya tampaknya selalu dibarengi dengan penyakit munafik. Gejala kemunafikan baik pada tingkat ideologi, tingkah laku, moralitas sampai pada perkataan telah terbentuk sedemikian rupa. Hal itu dapat kita lihat ketika seruan Islam kepada semua umat manusia terkhusus menganutnya untuk menciptakan persatuan sejagat dan total, dengan seketika kita juga akan melihat betapa perpecahan, permusuhan. Pengkhianatan, dan pengrusakan tetap terjadi.Walhasil bahwa sifat munafiklah sebenarnya menjadi sumber runtuhnya nilai-nilai primordial dan hakikat universalitas dari kemanusiaan.[]
Monday, April 16, 2007
Sikap Para Ulama Terhadap Paham Wahabi
Para ulama dari ke empat mazhab Ahlissunnah wal Jama'ah telah bersungguh-sungguh menolak faham mereka dan menyusun buku-buku yang luas pembahasannya. Hal itu mereka lakukan adalah untuk mengamalkan sabda Rasulullah s a w :
"Apabila perkara-perkara bid'ah telah lahir, dan para alim ulama'nya diam saja, maka laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia pasti akan ditimpakan padanya".
Dan sabda Beliau s a w yang berbunyi :
"Tidak lahir ahli bid'ah, kecuali Allah melahirkan pula hujjah-Nya pada mereka melalui lisan orang-orang yang dikehendaki dari makhluk-Nya".
Oleh karena itu, maka para ulama dari seluruh madzhab, baik timur maupun barat berusaha menolak mereka. Bahkan ada sebagian ulama' yang merasa berkewajiban untuk menolaknya dengan menggunakan pendapat-pendapat imam Ahmad Ibnu Hanbal dan orang-orang yang ahli didalam madzhabnya (sebab Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku mengikuti imam Ahmad - pen), dan menanyakan kepadanya tentang masalah-masalah yang hanya diketahui oleh sebagian kecil para pecinta ilmu, dan ternyata dia (Muhammad bin Abdul Wahhab) tidak bisa menjawabnya, karena tidak ada ilmu yang dimilikinya, selain fitnah yang dibisikkan syaitan kepadanya.
Diantara ulama' yang menyusun buku dalam menolak fahamnya, dan menanyakan sebagian masalah yang tidak dapat dijawabnya ialah Syeikh Muhammad bin Abdur Rahman bin Afaaliq. Beliau menyusun sebuah buku besar berjudul :"TAHKKUMUL MUWALLIDDIIN BI MAN IDDA'A TAJDIDAD DIIN".
Di dalam kitab tersebut beliau menolak setiap masalah dari mulai masalah-masalah yang ditimbulkannya dengan sengit sekali, kemudian mengajukan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu syara' dan sastra dengan pertanyaan-pertanyaan yang aneh sekali yang ditulisnya dalam surat dan dikirimkannya kepadanya, maka sedikitpun dia (Muhammad bin Abdul Wahhab) tidak mampu menjawabnya (karena saking jahilnya - pen).
Diantara pertanyaan yang diajukan itu ialah tentang surat 100 Al-Aadiyaat, sebagai surat mufashshal yang paling pendek. Dia menanyakan berapa banyak di dalam surat tsb hakekat syar'i, hakekat lughawi, hakekat urfi, majaz mursal, majaz murakkab, isti'arah hakikiyah, isti'arah wafaqiyah, isti'arahtabi'iyah, isti'arah muthlaqah, isti'arah takhyiliyah, tasybih malfuq, mafruq, mufrad, murakkab, mujmal, mufashshal, ijaz, ithnab, musawwat, isnad hakiki, isnad majazi, dan apa yang dinamakan majaz hukmi dan aqli, serta dimana letaknya wadh'ul mudhmar, maudhi'ul muzhhar dan sebaliknya, apa yang dinamakan maudhi'u dhamir sya'an, maudhi'ul iltifat, maudhi'ul fashi dan washli, kamalil ittishal, kamalil inqitha' dan jami' baina kulli jumlataini muta'athifataini, mahalli tanasubil jumal, wajhut tanasub, wajhu kamalihi fil hasan wal balaghah, ijazu qashrin, ijazi hadzfin, ihtiras dan tatmim ?. Maka sedikitpun Muhammad bin Abdul Wahhab tidak bisa menjawab (dasar geblek alias baghlul murakkab - pen).
Sifat-sifat Wahabi yang Tercela
Diantara sifat-sifatnya yang tercela ialah kebusukannya dan kekejiannya dalam melarang orang berziarah ke makam dan membaca sholawat atas Nabi s a w, bahkan dia (Muhammad bin Abdul Wahhab) sampai menyakiti orang yang hanya sekedar mendengarkan bacaan sholawat dan yang membacanya dimalam Jum'at serta yang mengeraskan bacaannya di atas menara-menara dengan siksaan yang amat pedih.
Pernah suatu ketika salah seorang lelaki buta yang memiliki suara yang bagus bertugas sebagai muadzin, dia telah dilarang mengucapkan shalawat di atas menara, namun lelaki itu selesai melakukan adzan membaca shalawat, maka langsung seketika itu pula dia diperintahkan untuk dibunuh, kemudian dibunuhlah dia, setelah itu Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : "perempuan-perempuan yang berzina drimah pelacuran adalah lebih sedikit dosanya daripada para muadzin yang melakukan adzan di menara-menara dengan membaca shalawat atas Nabi.
Kemudian dia memberitahukan kepada sahabat-sahabatnya bahwa apa yang dilakukan itu adalah untuk memelihara kemurnian tauhid (kayaknya orang ini maniak atau menderita sindrom tertentu - pen). Maka betapa kijinya apa yang diucapkannya dan betapa jahatnya apa yang dilakukanya (mirip revolusi komunisme - pen).
Tidak hanya itu saja, bahkan diapun membakar kitab Dalailul Khairat (kitab ini yang dibaca para pejuang Afghanistan sehingga mampu mengusir Uni Sovyet / Rusia, namun kemudian Wahabi mengirim Taliban yang akan membakar kitab itu - pen) dan juga kitab-kitab lainnya yang memuat bacaan-bacaan shalawat serta keutamaan membacanya ikut dibakar, sambil berkata apa yang dilakukan ini semata-mata untuk memelihara kemurnian tauhid.
Dia juga melarang para pengikutnya membaca kitab-kitab fiqih, tafsir dan hadits serta membakar sebagian besar kitab-kitab tsb, karena dianggap susunan dan karangan orang-orang kafir. Kemudian menyarankan kepada para pengikutnya untuk menafsirkan Al Qur'an sesuai dengan kadar kemampuannya, sehingga para pengikutnya menjadi BIADAB dan masing-masing menafsirkan Al Qur'an sesuai dengan kadar kemampuannya, sekalipun tidak secuilpun dari ayat Al Qur'an yang dihafalnya.
Lalu ada seseorang adari mereka berkata kepada seseorang : "Bacalah ayat Al Qur'an kepadaku, aku akan menafsirkanya untukmu, dan apabila telah dibacakannya kepadanya maka dia menafsirkan dengan pendapatnya sendiri. Dia memerintah kepada merak untuk mengamalkan dan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang mereka fahami serta memperioritaskan kehendaknya diatas kitab-kitab ilmu dan nash-nash para ulama, dia mengatakan bahwa sebagian besar pendapat para imam keempat madzhab itu tidak ada apa-apanya.
Sekali waktu, kadang memang dia menutupinya dengan mengatakan bahwa para imam ke empat madzhab Ahlussunnah adalah benar, namun dia juga mencela orang-orang yang sesat lagi menyesatkan. Dan dilain waktu dia mengatakan bahwa syari'at itu sebenarnya hanyalah satu, namun mengapa mereka (para imam madzhab) menjadikan 4 madzhab.
Ini adalah kitab Allah dan sunnah Rasul, kami tidak akan beramal, kecuali dengan berdasar kepada keduanya dan kami sekali-kali tidak akan mengikuti pendapat orang-orang Mesir, Syam dan India. Yang dimaksud adalah pendapat tokoh-tokoh ulama Hanabilah dll dari ulama-ulama yang menyusun buku-buku yang menyerang fahamnya.
Dengan demikian, maka dia adalah orang yang mebatasi kebenaran, hanya yang ada pada sisinya, yang sejalan dengan nash-nash syara' dan ijma' ummat, serta membatasi kebathilan di sisinya apa yang tidak sesuai dengan keinginannya, sekalipun berada diatas nash yang jelas yang sudah disepakati oleh ummat.
Dan adalah dia adalah orang yang mengurangi keagungan Rasulullah s a w dengan banyak sekali atas dasar memelihara kemurnian tauhid. Dia mengatakan bahwa Nabi s a w itu tak ubahnya :"THORISY". Thorisy adalah istilah kaum orientalis yang berarti seseorang yang diutus dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Artinya, bahwa Nabi s a w itu adalah pembawa kitab, yakni puncak kerasulan beliau itu seperti "Thorisy" yang diperintah seorang amir atau yang lain dalam suatu masalah untuk manusia agar disampaikannya kepada mereka, kemudian sesudah itu berpaling (atau tak ubahnya seorang tukang pos yang bertugas menyampaikan surat kepada orang yang namanya tercantum dalam sampul surat, kemudian sesudah menyampaikannya kepada yang bersangkutan, maka pergilah dia. Dengan ini maka jelaslah bahwa kaum Wahabi hanya mengambil al Qur'an sebagian dan sebagian dia tinggalkan - pen)
Diantara cara dia mengurangi ke agungan Rasulullah s a w ialah pernah mengatakan : "AKU MELIHAT KISAH PERJANJIAN HUDAIBIYAH, MAKA AKU DAPATI SEMESTINYA BEGINI DAN BEGINI", dengan maksud menghina dan mendustakan Nabi s a w (mirip mereka yang sok tahu waktu Nabi s a w membuat perjanjian itu - pen) dan seterusnya masih banyk lagi nada-nada yang serupa yang diucapkanya, sehingga para pengikutnyapun melakukan seperti apa yang dilakukannya dan berkata seperti apa yang diucapkannya itu.
Dan meraka (para pengikutnya itu) pun memberitahukan apa yang mereka ucapkan itu kepadanya namun dia menampakkan kerelaannya, serta boleh jadi mereka juga mengucapkan kata-kata itu dihadapan gurunya, namun rupa-rupanya dia juga merestuinya, sehingga ada sebagian pengikutnya yang berkata :"SESUNGGUHNYA TONGKATKU INI LEBIH BERGUNA DARIPADA MUHAMMAD, KARENA TONGKATKU INI BISA AKU PAKAI UNTUK MEMUKUL ULAR, SEDANG MUHAMMAD SETELAH MATI TIDAK ADA SEDIKITPUN KEMANFA'ATAN YANG TERSISA DARINYA, KARENA DIA (RASULULLAH S A W) ADALAH SEORANG THORISY DAN SEKARANG SUDAH BERLALU".
Sebagian ulama' yang menyusun buku yang menolak faham ini mengatakan bahwa ucapan-ucapan seperti itu adalah "KUFUR" menurut ke empat madzhab, bahkan kufur menurut pandangan seluruh para ahli Islam.
Dari Kitab DURARUSSANIYAH FIR RADDI ALAL WAHABIYAH karya Syeikhul Islam Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Asy-Syafi'i.
Catatan :
KOMENTAR MENGENAI ASAL-USUL MAZHAB WAHHABI
Mazhab Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama `Abd al-Wahhab iaitu bapa kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin `Abd al-Wahhab al-Najdi. Ia tidak dinamakan al-Muhammadiyyah yang mungkin boleh dikaitkan dengan nama Muhammad bin `Abd al-Wahhab bertujuan untuk mengelakkan persamaan di antara para pengikut Nabi Muhammad (s.`a.w) dengan mereka, dan juga bertujuan untuk menghalang sebarang bentuk eksploitasi (istighlal).[1][2] Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun[2][3] (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah.
Mazhab Wahhabi pada zaman moden ini tidak lain dan tidak bukan, adalah golongan al-Hasyawiyyah kerana kepercayaan-kepercayaan dan pendapat-pendapat mereka seratus peratus sama dengan golongan yang dikenali sebagai al-Hasyawiyyah pada abad-abad yang awal.
Istilah al-Hasyawiyyah adalah berasal daripada kata dasar al-Hasyw iaitu penyisipan, pemasangan dan kemasukan. Nama ini diberikan kepada orang-orang yang menerima dan mempercayai semua hadith yang dibawa masuk ke dalam Islam oleh orang-orang munafiq. Mereka mempercayai semua hadith yang dikaitkan kepada Nabi (s.`a.w) dan para sahabat baginda berdasarkan pengertian bahasa semata-mata tanpa sebarang penilaian semula. Bahkan sekiranya sesuatu “ hadith “ itu dipalsukan (tetapi orang yang memalsukannya memasukkan suatu rangkaian perawi yang baik kepadanya), mereka tetap menerimanya tanpa mempedulikan sama ada teks hadith itu selari dan selaras dengan al-Qur’an ataupun hadith yang diakui sahih atau sebaliknya. Kebanyakan ulama hadith (muhaddithun) Sunni termasuk ke dalam golongan al-Hasyawiyyah.
Ahmad bin Yahya al-Yamani (m.840H/1437M) mencatatkan bahawa: “ Nama al-Hasyawiyyah digunakan kepada orang-orang yang meriwayatkan hadith-hadith sisipan yang sengaja dimasukkan oleh golongan al-Zanadiqah sebagai sabda Nabi dan mereka menerimanya tanpa sebarang interpretasi semula, dan mereka juga menggelarkan diri mereka Ashab al-Hadith dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah... Mereka bersepakat mempercayai konsep pemaksaan (Allah berhubung dengan perbuatan manusia) dan tasybih (bahawa Allah seperti makhluk-Nya) dan mempercayai bahawa Allah mempunyai jasad dan bentuk serta mengatakan bahawa Allah mempunyai anggota tubuh ... “[3][4]
Al-Syahrastani (467-548H/1074-1153M) menuliskan bahawa: “ Terdapat sebuah kumpulan Ashab al-Hadith, iaitu al-Hasyawiyyah dengan jelas mengisytiharkan kepercayaan mereka tentang tasybih (iaitu Allah seumpama makhluk-Nya) ... sehinggakan mereka sanggup mengatakan bahawa pada suatu ketika, kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) kerana banjir Nabi Nuh (`a.s) sehingga mata-Nya menjadi merah, dan `Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahawa Dia melampaui `Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut.”[4][5]
Definisi dan gambaran ini secara langsung menepati golongan Wahhabi yang menamakan diri mereka sebagai Ashab al-Hadith atau Ahl al-Hadith dan kerapkali juga sebagai Sunni, dan pada masa kini mereka memperkenalkan diri mereka sebagai Ansar al-Sunnah ataupun Ittiba` al-Sunnah.
Latar belakang Pengasas Mazhab Wahhabi
Muhammad bin `Abd al-Wahhab dilahirkan di perkampungan `Uyainah, salah sebuah kampung dalam Najd di bahagian selatan pada tahun 1115H/1703M. Bapanya, `Abd al-Wahhab merupakan seorang Qadi di sini. Muhammad dikatakan pernah mempelajari bidang fiqh al-Hanbali dengan bapanya, yang juga adalah salah seorang tokoh ulama al-Hanabilah. Semenjak kecil, dia mempunyai hubungan yang rapat dengan pengkajian dan pembelajaran kitab-kitab tafsir, hadith dan akidah.
Pada zaman remajanya, Muhammad selalu memperendah-rendahkan syiar agama yang biasanya dipegang oleh penduduk Najd, bukan sahaja di Najd bahkan sehingga sejauh Madinah selepas dia kembali daripada menunaikan haji. Dia sering mengada-adakan perubahan dalam pendapat dan pemikiran di dalam majlis-majlis agama, dan dia dikatakan tidak suka kepada orang yang bertawassul kepada Nabi (s.`a.w) di tempat kelahiran (marqad) baginda yang suci itu.
Kehidupannya selama beberapa tahun dihabiskan dengan mengembara dan berdagang di kota-kota Basrah, Baghdad, Iran, India dan Damsyik. Di Damsyik, dia dikatakan telah menemui kitab-kitab karangan Ibn Taimiyyah al-Harrani (m.728H/1328M) yang mengandungi ajaran-ajaran yang berunsur kontroversi berbanding dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.
Dia kembali ke Najd dan kemudian berpindah ke Basrah. Dalam perjalanannya ke Syam, di Basrah dia berjaya memenuhi matlamatnya menegah orang ramai daripada melakukan syiar agama mereka dan menghalang mereka daripada perbuatan tersebut. Justeru itu penduduk Basrah bangkit menentangnya, dan menyingkirkannya daripada perkampungan mereka. Akhirnya dia melarikan diri ke kota al-Zabir.
Dalam perjalanan di antara Basrah dan al-Zabir, akibat terlalu penat berjalan kerana kepanasan sehingga hampir-hampir menemui ajalnya, seorang lelaki (dari kota al-Zabir) telah menemuinya lalu membantunya ketika melihatnya berpakaian seperti seorang alim. Dia diberikan minuman dan dibawa balik ke kota tersebut. Muhammad bin `Abd al-Wahhab berazam untuk ke Syam tetapi dia tidak mempunyai harta dan bekalan yang mencukupi, lalu bermusafir ke al-Ahsa’ dan dari situ, terus ke Huraymilah (dalam kawasan Najd) juga.
Pada tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari `Uyainah ke Huraymilah dan dia ikutserta dengan bapanya dan belajar dengannya tetapi masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd, yang menyebabkan berlakunya pertentangan dan perselisihan yang berkecamuk di antaranya dan bapanya di satu pihak dan, di antaranya dengan penduduk-penduduk Najd di pihak yang lain. Keadaan tersebut terus berkekalan sehingga ke tahun 1153H/1740M apabila bapanya meninggal dunia.[5][6] Sejak dari itu, Muhammad tidak lagi terikat. Dia telah mengemukakan akidah-akidahnya yang sesat, menolak dan mengenepikan amalan-amalan agama yang dilakukan serta menyeru mereka menyertai kumpulannya. Sebahagian tertipu manakala sebahagian lagi meninggalkannya hingga dia mengisytiharkan kekuasaannya di Madinah.
Muhammad kembali ke `Uyainah yang diperintah oleh `Uthman bin Hamad yang menerima dan memuliakannya dan berlakulah ketetapan di antara mereka berdua bahawa setiap seorang hendaklah mempertahankan yang lain dengan seorang memegang kekuasaan dalam perundangan Islam (al-tasyri`) dan seorang lagi dalam pemerintahan. Pemerintah `Uyainah mendokong Muhammad dengan kekuatan dan Muhammad bin `Abd al-Wahhab pula menyeru manusia mentaati pemerintah dan para pengikutnya.
Berita telah sampai kepada pemerintah al-Ahsa’ bahawa Muhammad bin `Abd al-Wahhab mendakyahkan pendapat dan bid`ahnya, manakala pemerintah `Uyainah pula menyokongnya. Beliau telah memerintahkan supaya suatu risalah peringatan dan ancaman dihantar kepada pemerintah `Uyainah. Pemerintah `Uyainah telah memanggil Muhammad dan memberitahunya bahawa dia enggan membantunya. Ibn `Abd al-Wahhab berkata kepadanya: “ Sekiranya engkau membantuku dalam dakwah ini, engkau akan menguasai seluruh Najd.” Pemerintah tersebut menyingkirkannya dan memerintahkannya meninggalkan `Uyainah dengan cara mengusirnya pada tahun 1160H/1747M.
Pada tahun itu, Muhammad keluar dari `Uyainah ke Dar`iyyah di Najd yang diperintah oleh Muhammad bin Sa`ud (m.1179H/1765M) yang kemudian menziarahi, memuliakan dan menjanjikan kebaikan kepadanya. Sebagai balasannya, Ibn `Abd al-Wahhab memberikan khabar gembira kepadanya dengan jaminan penguasaan Najd keseluruhannya. Dengan cara itu, suatu ketetapan dimeterai.[6][7] Penduduk Dar`iyyah mendokongnya sehingga akhirnya Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dan Muhammad bin Sa`ud memeterai perjanjian atau memorandum persefahaman (`aqd al-Ittifaqiyyah).
Ibn Basyr al-Najdi yang dipetik oleh al-Alusi mengatakan: “ Penduduk Dar`iyyah pada masa itu dalam keadaan sangat menderita dan kepayahan, mereka lalu berusaha untuk memenuhi kehidupan mereka ... Aku lihat kesempitan hidup mereka pada kali pertama tetapi kemudian aku lihat al-Dar`iyyah selepas itu - pada zaman Sa`ud, penduduknya memiliki harta yang banyak dan senjata disaluti emas, perak, kuda yang baik, para bangsawan, pakaian mewah dan lain-lain lagi daripada sumber-sumber kekayaan sehinggakan lidah kelu untuk berkata-kata dan gambaran secara terperinci tidak mampu dihuraikan.”
“ Aku lihat tempat orang ramai pada hari itu, di tempat dikenali al-Batin - aku lihat kumpulan lelaki di satu pihak dan wanita di satu pihak lagi, aku lihat emas, perak, senjata, unta, kuda, pakaian mewah dan semua makanan tidak mungkin dapat digambarkan dan tempat itu pula sejauh mata memandang, aku dengar hiruk-pikuk suara-suara penjual dan pembeli ... “[7][8]
Harta yang banyak itu tidak diketahui datang dari mana, dan Ibn Basyr al-Najdi sendiri tidak mendedahkan sumber harta kekayaan yang banyak itu tetapi berdasarkan fakta-fakta sejarah, Ibn `Abd al-Wahhab memperolehinya daripada serangan dan serbuan yang dilakukannya bersama-sama para pengikutnya terhadap kabilah-kabilah dan kota-kota yang kemudian meninggalkannya untuknya. Ibn `Abd al-Wahhab merampas harta kekayaan itu dan membahagi-bahagikannya kepada penduduk Dar`iyyah.
Ibn `Abd al-Wahhab mengikuti kaedah khusus dalam pembahagian harta rampasan daripada umat Islam yang meninggalkannya. Ada ketikanya, dia membahagikannya di antara 2 atau 3 orang pengikutnya. Amir Najd menerima habuannya daripada ghanimah itu dengan persetujuan Muhammad bin `Abd al-Wahhab sendiri. Ibn `Abd al-Wahhab melakukan mu`amalah yang buruk dengan umat Islam yang tidak tunduk kepada hawa nafsu dan pendapatnya seumpama mu`amalah kafir harbi dan dia menghalalkan harta mereka.
Ringkasnya, Muhammad ibn `Abd al-Wahhab kelihatan menyeru kepada agama Tawhid tetapi tawhid sesat ciptaannya sendiri, dan bukannya tawhid menurut seruan al-Qur’an dan al-Hadith. Sesiapa yang tunduk (kepada tawhidnya) akan terpelihara diri dan hartanya dan sesiapa yang enggan pula dianggap kafir harbi (yang perlu diperangi) sama ada darah dan hartanya.
Di atas alasan inilah, golongan Wahhabi menguasai medan peperangan di Najd dan kawasan-kawasan di luarnya seperti Yaman, Hijaz, sekitar Syria dan `Iraq. Mereka mengaut keuntungan yang berlimpah daripada kota-kota yang mereka kuasai mengikut kemahuan dan kehendak mereka, dan jika mereka boleh menghimpunkan kawasan-kawasan itu ke dalam kekuasaan dan kehendak mereka, mereka akan lakukan semua itu, tetapi jika sebaliknya mereka hanya memadai dengan merampas harta kekayaan sahaja.[8][9]
Muhammad memerintahkan orang-orang yang cenderung mengikuti dakwahnya supaya memberikan bai`ah dan orang-orang yang enggan wajib dibunuh dan dibahagi-bahagikan hartanya. Oleh kerana itu, dalam proses membuang dan mengasingkan penduduk kampung di sekitar al-Ahsa’ untuk mendapatkan bai`ah itu, mereka telah menyerang dan membunuh 300 orang dan merampas harta -harta mereka.[9][10]
Akhirnya Muhammad meninggal dunia pada tahun 1206H/1791M tetapi para pengikutnya telah meneruskan mazhabnya dan menghidupkan bid`ah dan kesesatannya kembali. Pada tahun 1216H/1801M, al-Amir Sa`ud al-Wahhabi mempersiapkan tentera yang besar terdiri daripada 20 000 orang dan melakukan serangan ganas ke atas kota suci Karbala’ di `Iraq. Karbala merupakan sebuah kota suci dihiasi dengan kemasyhuran dan ketenangan di hati umat Islam. Pelbagai bangsa berhasrat untuk ke sana sama ada mereka berbangsa Iran, Turki, Arab dan sebagainya. Tentera Wahhabi mengepung dan memasuki kota itu dengan melakukan pembunuhan, rampasan, runtuhan dan kebinasaan. Puak Wahhabi telah melakukan keganasan dan kekejaman di kota Karbala’ dengan jenayah yang tidak mengenal batas perikemanusiaan dan tidak mungkin dapat dibayangkan. Mereka telah membunuh 5000 orang Islam atau bahkan lebih lagi, sehingga disebutkan seramai 20 000 orang.
Apabila al-Amir Sa`ud menyudahi perbuatan keji dan kejamnya di sana, dia merampas khazanah harem al-Imam al-Husayn bin `Ali (`a.s) yang banyak dengan harta, perhiasan dan hadiah yang dikurniakan oleh raja, pemerintah dan lain-lain kepada maqam suci ini. Selepas melakukan keganasan yang cukup menjijikkan ini, dia kemudian menakluki Karbala’ untuk dirinya sehingga para penyair menyusun qasidah-qasidah penuh dengan rintihan, keluhan dan dukacita mereka.[10][11]
Puak Wahhabi mengambil masa selama 12 tahun membuat serangan ke atas kota Karbala’ dan kawasan sekitarnya, termasuk Najaf. Mereka kembali sebagai perampas, penyamun dan pencuri dengan memulainya pada tahun 1216H/1801M. Para penulis Syi`ah bersepakat bahawa serangan dan serbuan itu berlaku pada hari `Aid al-Ghadir bagi memperingati ketetapan Nabi (s.`a.w) mengenai perlantikan al-Imam `Ali bin Abi Talib sebagai khalifah selepas baginda.[11][12]
Al-`Allamah al-Marhum al-Sayyid Muhammad Jawwad al-`Amili mengatakan:[12][13]
“ Allah telah menentukan dan menetapkan dengan kebesaran dan keihsanan-Nya dan juga dengan berkat Muhammad dan Al baginda (s.`a.w), untuk melengkapkan juzuk ini daripada kitab Miftah al-Karamah, selepas pertengahan malam yang ke-9, bulan Ramadan al-mubarak tahun 1225H/1810M - menurut catatan penyusunnya ...” dengan kekacauan fikiran dan kecelaruan keadaan, orang-orang `Arab dikelilingi oleh orang-orang dari `Unaizah yang mengucapkan kata-kata puak al-Wahhabi al-Khariji di al-Najaf al-Asyraf dan masyhad al-Imam al-Husayn (`a.s) - mereka telah memintas jalan dan merampas hak milik para penziarah al-Husayn (`a.s) sebaik sahaja mereka kembali daripada ziarah itu pada pertengahan bulan Sya`ban. Mereka membunuh sebahagian besar daripadanya, terdiri daripada orang-orang `Ajam, dianggarkan 150 orang ataupun kurang ...”
Jelaslah, bahawa tawhid yang diserukan oleh Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan jemaahnya adalah dengan mengharuskan darah dan harta orang yang mengingkari dakwah mereka, juga menerima kata-kata atau akidah-akidah mereka bahawa Allah berjisim, mempunyai anggota tubuh badan dan sebagainya.
Al-Alusi dalam penjelasannya tentang Wahhabi mengatakan: “ Mereka menerima hadith-hadith yang datang daripada Rasulullah (s.`a.w) bahawa Allah turun ke langit dunia dan berkata: Adakah orang-orang yang ingin memohon keampunan?”[13][14] Sehinggalah dia mengatakan: “ Mereka mengakui bahawa Allah ta`ala datang pada hari Qiyamat sebagaimana kata-Nya: “ dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya “ (al-Fajr (89): 23) dan sesungguhnya Allah menghampiri makhluk-Nya menurut kehendak-Nya seperti yang disebutkan: “ dan Kami lebih hampir kepadanya daripada urat lehernya “ (Qaf (50): 16).
Dapat dilihat dalam kitab al-Radd `ala al-Akhna’i oleh Ibn Taimiyyah bahawa dia menganggap hadith-hadith yang diriwayatkan tentang kelebihan ziarah Rasulullah (s.`a.w) sebagai hadith mawdu` (palsu). Dia juga turut menjelaskan “ orang yang berpegang kepada akidah bahawa Nabi masih hidup walaupun sesudah mati seperti kehidupannya semasa baginda masih hidup,” dia telah melakukan dosa yang besar. Inilah juga yang diiktiqadkan oleh Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan para pengikutnya, bahkan mereka menambahkan pemalsuan dan kebatilan Ibn Taimiyyah tersebut.
Para pengikut akidah Wahhabi yang batil memberikan tanggapan kepada para pengkaji yang melakukan penyelidikan mengenai Islam - menerusi pemerhatian dan penelitian kepada kitab-kitab mereka dan mengenali Islam menerusi bahan-bahan cetakan mereka sendiri - hingga menyebabkan mereka akhirnya beranggapan bahawa Islam adalah agama yang kaku, beku, terbatas dan tidak dapat dimanfaatkan pada setiap masa dan zaman.
Lothrop Stodard berbangsa Amerika mengatakan: “ Kesan dari itu, kritikan-kritikan telah timbul kerana puak Wahhabi berpegang kepada dalil tersebut dalam kalam mereka hingga dikatakan bahawa Islam dari segi jawhar dan tabiatnya tidak mampu lagi berhadapan dengan perubahan menurut kehendak dan tuntutan zaman, tidak dapat berjalan seiringan dengan keadaan kemajuan dan proses perubahan serta tidak lagi mempunyai kesatuan dalam perkembangan kemajuan zaman dan perubahan masa ...”[14][15]
Penentangan Terhadap Mazhab Wahhabi
Para ulama al-Hanbali memberontak terhadap Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan mengeluarkan hukum bahawa akidahnya adalah sesat, menyeleweng dan batil sejak dari mula lagi. Tokoh pertama yang mengisytiharkan penentangan terhadapnya adalah bapanya sendiri, al-Syaikh `Abd al-Wahhab, diikuti oleh saudaranya, al-Syaikh Sulayman. Kedua-duanya adalah daripada mazhab al-Hanabilah. Al-Syaikh Sulayman menulis kitab yang bertajuk al-Sawa`iq al-Ilahiyyah fi al-Radd `ala al-Wahhabiyyah untuk menentang dan menghentamnya. Di samping itu tentangan juga dihadapkan kepadanya oleh sepupunya, `Abdullah bin Husayn.
Mufti Makkah, Zaini Dahlan mengatakan: “ `Abd al-Wahhab, bapa kepada al-Syaikh Muhammad adalah seorang yang salih dan merupakan seorang tokoh ahli ilmu, begitulah juga dengan al-Syaikh Sulayman. Al-Syaikh `Abd al-Wahhab dan al-Syaikh Sulayman, kedua-duanya dari awal lagi iaitu pada ketika Muhammad mengikuti pengajarannya di Madinah al-Munawwarah telah mengetahui pendapat dan pemikiran Muhammad yang meragukan. Kedua-duanya telah mengkritik dan mencela pendapatnya dan mereka berdua turut memperingatkan orang ramai mengenai bahayanya pemikiran Muhammad...”[15][16]
Dalam keterangan Zaini Dahlan yang lain dikatakan bahawa “ bapanya `Abd al-Wahhab, saudaranya Sulayman dan guru-gurunya telah dapat mengesani tanda-tanda penyelewengan agama (ilhad) dalam dirinya yang didasarkan kepada perkataan, perbuatan dan tentangan Muhammad terhadap banyak persoalan agama.”[16][17]
`Abbas Mahmud al-`Aqqad al-Misri mengatakan: “ Orang yang paling kuat menentang al-Syaikh dalam persoalan ini adalah saudaranya, al-Syaikh Sulayman, penulis kitab al-Sawa`iq al-Ilahiyyah. Beliau tidak mengiktiraf saudaranya itu mencapai kedudukan berijtihad dan berkemampuan memahami al-Kitab dan al-Sunnah. Al-Syaikh Sulayman berpendapat bahawa para Imam yang lalu, generasi demi generasi tidak pernah mengkafirkan ashab bid`ah, dalam hal ini tidak pernah timbul persoalan kufur sehingga timbulnya ketetapan mewajibkan mereka memisahkan diri daripadanya dan sehingga diharuskan pula memeranginya kerana alasan tersebut.”
Al-Syaikh Sulayman berkata lagi bahawa: “ Sesungguhnya perkara-perkara itu berlaku sebelum zaman al-Imam Ahmad bin Hanbal iaitu pada zaman para Imam Islam, dia mengingkarinya manakala ada di antara mereka pula mengingkarinya, keadaan itu berterusan sehingga dunia Islam meluas. Semua perbuatan itu dilakukan orang-orang yang kamu kafirkan mereka kerananya, dan tiada seorang pun daripada para Imam Islam yang menceritakan bahawa mereka mengkafirkan (seseorang) dengan sebab-sebab tersebut. Mereka tidak pernah mengatakan seseorang itu murtad, dan mereka juga tidak pernah menyuruh berjihad menentangnya. Mereka tidak menamakan negara-negara orang Islam sebagai negara syirik dan perang sebagaimana yang kamu katakan, bahkan kamu sanggup mengkafirkan orang yang tidak kafir kerana alasan-alasan ini meskipun kamu sendiri tidak melakukannya...”[17][18]
Jelaslah bahawa Muhammad bin `Abd al-Wahhab bukan sahaja sengaja mengada-adakan bid`ah dalam pendapat dan pemikirannya, bahkan beberapa abad terdahulu daripadanya, pendapat dan pemikiran seperti itu telah pun didahului oleh Ibn Taimiyyah al-Harrani dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jawzi dan tokoh-tokoh seperti mereka berdua.
Ibn Taimiyyah
Dia ialah Abu al-`Abbas bin `Abd al-Halim atau lebih dikenali Ibn Taimiyyah (m.728H/1328M) termasuk dalam kalangan ulama al-Hanabilah. Pendapat dan pemikirannya bercanggah dan berlawanan dengan akidah ulama dan umat Islam pada zamannya sehingga tokoh-tokoh ulama telah mengeluarkan perisytiharan perang dan menghukumkannya fasiq dan sesat, terutama selepas akidahnya yang penuh kebatilan dituliskan dan disebarkan kepada orang ramai.
Penentangan terhadap Ibn Taimiyyah dilakukan menerusi dua cara:
(1) Penulisan kitab-kitab dan tulisan-tulisan yang menjawab dan menyangkal pendapat dan pemikirannya yang batil berdasarkan pandangan al-Qur’an dan al-Hadith. Contohnya:
a) Taqi al-Din al-Subki dengan kitabnya, Syifa’ al-Siqam fi Ziyarah Qabr al-Imam.
b) Al-Subki dengan kitabnya, al-Durrah al-Mudi’ah fi al-Radd `ala Ibn Taimiyyah.
c) Taqi al-Din Abi `Abd-Allah al-Akhna’i, Qadi al-Qudat al-Malikiyyah.
d) Fakhr bin Muhammad al-Qarsyi, Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mutadi.
e) Taqi al-Din al-Hasani, Daf` al-Syubhah.
f) Taj al-Din, al-Tuhfah al-Mukhtarah fi al-Radd `ala Munkir al-Ziyarah.
Semua tokoh yang disebutkan di atas menolak pendapat dan pemikiran Ibn Taimiyyah dan memperlihatkan kedangkalan serta kecetekan pendapatnya.
(2) Celaan dan kritikan para ulama dan fuqaha’ terhadapnya dengan mengeluarkan hukum dan fatwa tentang kefasikan dan kekufurannya, dan mereka turut memberikan peringatan tentang bid`ah dalam agama yang boleh merosakkan, yang dihasilkan daripada pemikirannya.
Tokoh ulama tersebut ialah al-Badr bin Jama`ah, Qadi al-Qudat di Mesir. Umat Islam telah menulis kepadanya tentang pendapat Ibn Taimiyyah mengenai ziarah kubur Nabi (s.`a.w). Qadi al-Qudat tersebut menjawab:
“ Ziarah Nabi adalah sunat yang dituntut. Ulama bersepakat dalam hal ini dan sesiapa yang berpendapat bahawa ziarah itu adalah haram, maka para ulama wajib mengutuknya dan menegahnya daripada mengeluarkan pendapat tersebut. Sekiranya dia enggan, maka hendaklah dipenjarakan dan diperendah-rendahkan kedudukannya sehingga umat manusia tidak mengikutinya lagi.”
Bukan Qadi al-Syafi`iyyah di Mesir sahaja yang mengeluarkan fatwa ini, bahkan Qadi al-Malikiyyah dan al-Hanbaliyyah turut sama mendakwa kefasikan Ibn Taimiyyah dan menghukumkannya sebagai sesat dan menyeleweng.[18][19]
Al-Dhahabi, salah seorang ulama abad ke-8H/14M, tokoh sezaman dengan Ibn Taimiyyah telah menulis sebuah risalah kepadanya, dengan menegahnya daripada mengeluarkan pendapat tersebut ... dan beliau menyamakannya dengan al-Hajjaj bin Yusuf al-Thaqafi dari segi kesesatan dan kejahatan.[19][20]
Ibn Taimiyyah meninggal dunia pada tahun 728H/1328M di dalam penjara al-Syam. Ibn al-Qayyim cuba menyambung dan meneruskan usaha gurunya, tetapi tidak berjaya. Dengan kematian Ibn Taimiyyah, segala pendapat dan pemikirannya juga turut mengalami kematian, dan umat Islam terlepas daripada bid`ah dan kesesatannya.
Kemudian Muhammad bin `Abd al-Wahhab datang dengan membawa pemikiran Ibn Taimiyyah dan bersekongkol pula dengan keluarga Sa`ud yang saling menyokong di antara seorang dengan yang lain dari segi pemerintahan dan keislaman. Di Najd, kesesatan telah tersebar dan fahaman al-Wahhabiyyah merebak ke seluruh pelusuk tempat seumpama kanser (al-saratan) dalam tubuh badan manusia. Dia menipu kebanyakan umat manusia dan menubuhkan sebuah pertubuhan ataupun dengan kata-kata lain, mazhab atas nama Tawhid dengan menjatuhkan hukuman ke atas Ahl al-Tawhid, menumpahkan darah umat Islam atas alasan jihad menentang golongan musyrikin hingga menyebabkan beribu-ribu orang manusia, lelaki dan wanita, kecil dan besar menjadi mangsa bid`ah mereka yang sesat. Ia turut sama menyebabkan perselisihan (khilaf) yang sempit semakin membesar dan menjadi-jadi di kalangan umat Islam dan dengan cara itu, mazhab yang baru ini dihubungkan dengan mazhab-mazhab yang banyak itu. Musibah itu akhirnya sampai ke kemuncaknya dengan jatuhnya dua buah kota suci, Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah.
Penduduk Najd bermazhab Wahhabi memperolehi bantuan dan pertolongan Britain yang ingin melihat perpecahan negara Islam kepada negara-negara yang lebih kecil dari segi kedudukan geografi. Mereka dengan secara sengaja berusaha menghapuskan segala kesan dan tinggalan Islam di kota-kota Makkah dan Madinah dengan memusnahkan kubur para wali (awliya’) Allah, mencemarkan kehormatan kerabat Rasulullah (Al Rasulillah) dan lain-lain dengan perbuatan-perbuatan jenayah dan dosa untuk mengoncangkan hati dan perasaan umat Islam.
Sesetengah ahli sejarah menyebutkan: “ Kemunculan secara tiba-tiba mazhab Wahhabi dan sewaktu mereka memegang kekuasaan di Makkah, operasi pemusnahan secara besar-besaran telah dilakukan oleh mereka dengan memusnahkan pertamanya, apa sahaja yang ada di al-Mu`alla, sebuah kawasan perkuburan Quraisy yang terdiri daripada kubah-kubah (qubbah) yang begitu banyak, termasuklah kubah-kubah Sayyidina `Abd al-Muttalib, datuk Nabi (s.`a.w), Sayyidina Abi Talib, al-Sayyidah Khadijah sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada kubah-kubah tempat kelahiran Nabi (s.`a.w), Abu Bakr dan al-Imam `Ali. Mereka juga turut memusnahkan kubah zamzam dan kubah-kubah lain di sekitar Ka`bah, seterusnya diikuti oleh kawasan-kawasan lain yang mempunyai kesan dan tinggalan orang-orang salih. Semasa mereka melakukan pemusnahan itu, mereka membuang kekotoran sambil memukul gendang (al-tubul) dan menyanyi dengan mengeluarkan kata-kata mencaci dan menghina kubur-kubur ... sehingga dikatakan sebahagian daripada mereka sanggup kencing di atas kubur-kubur para salihin tersebut.”[20][21]
Al-`Allamah al-Sayyid Sadr al-Din al-Sadr mengatakan:
“ Demi usia hidupku, sesungguhnya al-Baqi` telah menerima nasib yang sangat malang, kerana hati-hati yang kecewa, mengikut nafsu dan berperangai kebudak-budakan, maka berlakulah pencetus kepada segala kecelakaan, apabila tiada lagi kedamaian. Bagi umat Islam kepada Allah diadukan, hak Nabi-Nya yang telah memberikan petunjuk dan syafaat.”
Katanya lagi:
“ Celakalah anak cucu Yahudi dengan perbuatan jenayah yang mereka lakukan, mereka tidak mendapat apa-apa daripadanya dengan membongkarkan harim Muhammad dan kaum kerabat baginda. Neraka wail untuk mereka dengan apa yang mereka tentang terhadap orang-orang yang kuat (al-Jabbar). Mereka musnahkan kubur orang-orang salih dengan perasaan benci mereka. Hindarkanlah daripada mereka kerana sesungguhnya mereka membenci orang-orang yang terpilih (di sisi Allah).”
Nabi Muhammad (s.`a.w) pernah bersabda bahawa: “ Apabila sesuatu bid`ah itu muncul di kalangan umatku, maka orang-orang alim hendaklah memperlihatkan dan menyampaikan ilmu mereka kerana kalau mereka tidak melakukannya, laknat Allah akan ditimpakan ke atas mereka.”[21][22]
Rasulullah (s.`a.w) juga bersabda: “ Apabila bid`ah timbul dan orang-orang yang terkemudian daripada umat ini melaknat orang-orang yang terdahulu, maka barang siapa yang memiliki keilmuan, maka hendaklah menyampaikannya. Sesungguhnya orang yang menyembunyikan keilmuannya pada hari itu seumpama orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad.”[22][23]
Para Siddiqin (`a.s) daripada kaum kerabat Rasulullah (s.`a.w) mengatakan bahawa: “ Apabila bid`ah lahir, maka orang alim hendaklah menzahirkan keilmuannya, sekiranya dia tidak berbuat demikian, cahaya keimanan (Nur al-Iman) akan hilang.”[23][24]
Atas dasar inilah, para ulama Syi`ah dan Sunni telah bersama-sama bangkit menentang serangan mazhab Wahhabi. Mereka telah menulis, menerbitkan kitab-kitab dan menjelaskan keburukan dan kejahatan tokoh-tokoh Wahabi yang berusaha untuk merealitikan cita-cita dan harapan Britain menerusi bentuk baru.
Kitab pertama yang ditulis untuk menolak dan menentang fahaman Muhammad ibn `Abd al-Wahhab ialah al-Sawa`iq al-Ilahiyyah fi al-Radd `ala al-Wahhabiyyah yang ditulis oleh al-Syaikh Sulayman, iaitu saudara kepada Muhammad sendiri.
Di kalangan golongan Syi`ah pula, kitab pertama ditulis untuk tujuan tersebut ialah Manhaj al-Rasyad oleh al-Syaikh Ja`far Kasyif al-Ghita’ (m.1228H/1813M). Kitabnya ditulis untuk menjawab risalah yang dihantarkan kepadanya oleh al-Amir `Abd al-`Aziz bin Sa`ud, salah seorang pemerintah Sa`udi pada zamannya. Beliau telah membongkarkan kecetekan dan kedangkalan pemikiran Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dalam kitabnya dan mensabitkan kebatilan pemikiran Muhammad menerusi pandangan al-Qur’an dan al-Sunnah. Kitabnya itu telah dicetak pada tahun 1343H/1924M di al-Najaf al-Asyraf di `Iraq. Selepas itu, kitab-kitab lain mulai menyusul satu demi satu dengan menolak dan mengkritik pemikiran Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dari perspektif yang lain sehingga ke hari ini.
Pada zaman itu, golongan Wahhabi telah meningkatkan serangan mereka yang merosakkan dan berbahaya terhadap Islam dan umatnya menerusi penentangan dan peperangan yang didalangi oleh keluarga Sa`ud dengan bantuan daripada hasil keuntungan petrol mereka. Pemerintahan kesultanan Sa`udi telah memperuntukkan sejumlah besar hasil keuntungan petrol mereka untuk menyebarkan dan mengembangkan mazhab ciptaan Britain ini di kalangan orang Islam. Kalaulah tidak kerana kekayaan yang besar itu tentulah mazhab Wahhabi tidak akan dapat bertahan sehingga ke hari ini.
Kelihatan bahawa unsur-unsur penjajahan (al-isti`mar) Britain begitu jelas menerusi mazhab tersebut dan mereka mengambilnya sebagai cara yang terbaik untuk mewujudkan perpecahan, pertelagahan, persengketaan, permusuhan, perselisihan dan pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Mazhab tersebut juga turut memperkuatkan dan memperkukuhkan matlamat penjajahan Britain dengan mengada-adakan fitnah di kalangan umat Islam seperti menuduh orang-orang Islam yang lain sebagai fasiq dan kafir.