Popular Posts

Tuesday, April 17, 2007

Mengapa Kita Mesti Mencintai Rasulullah

“YA RASULULLAH, sungguh engkau lebih kucintai daripada diriku dan anakku,” kata seorang sahabat suatu hari kepada Rasulullah Muhammad saw. “Apabila aku berada di rumah, lalu kemudian teringat kepadamu, maka aku tak akan tahan meredam rasa rinduku sampai aku datang dan memandang wajahmu. Tapi apabila aku teringat pada mati, aku merasa sangat sedih, karena aku tahu bahwa engkau pasti akan masuk ke dalam surga dan berkumpul bersama nabi-nabi yang lain. Sementara aku apabila ditakdirkan masuk ke dalam surga, aku khawatir tak akan bisa lagi melihat wajahmu, karena derajatku jauh lebih rendah dari derajatmu.”

Mendengar kata-kata sahabat yang demikian mengharukan hati itu, Nabi tidak memberi sembarang jawaban sampai malaikat Jibril turun dan membawa firman Allah berikut:

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah; yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang se-baik-baiknya (QS. 4:69).

Cinta kepada Nabi seperti yang dapat kita simpulkan dari riwayat di atas memiliki implikasi yang sangat luas, baik secara teologis, psikologis dan sosio-logis bahkan secara eskatologis sekalipun. Dalam sebu-ah hadis Nabi pernah bersabda bahwa keimanan sese-orang harus diukur dengan barometer cintanya kepada Nabinya. La yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba ilaihi min nafsihi …, “Tidak beriman seseorang sehingga aku (Nabi) lebih ia cintai ketimbang dirinya sendiri…”

Mencintai Rasulullah menjadi sebuah keharu-san dalam iman. Ia menjadi prinsip, bukan opsi atau pilihan yang notabenenya adalah mau atau tidak. Se-orang Muslim harus menyimpan rasa cinta kepada Na-binya, seberapapun kecilnya. Idealnya ia mencintainya lebih dari segala sesuatu yang ia miliki, bahkan dirinya. Dan itulah pada hakikatnya iman yang paling sempur-na.

Cinta memang duduk sebagai sebuah landasan untuk mengetahui siapa Muhammad saw. Karena itu cinta akan menjadi sebagai pengantar yang membawa kita bisa mengenalnya lalu kemudian mencerminkan diri padanya. Untuk mengenal Muhammad memang kita harus memulai dengan membaca riwayat hidupnya. Data-data historis tentang Muhammad pasti menyim-pan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga. Namun yang harus kita ingat bersama adalah jangan mengukur kesalehan Muhammad hanya lewat deskripsi historis semata-mata. Sebab data-data historis tersebut tidak lebih dari sebuah deskripsi lahiriah yang kurang sarat dengan substansi “keilahian” Muhammad saw. Semen-tara keagungannya justru ada pada maqam keilahiannya yang sangat tinggi seperti yang sering kita dengar da-lam sebuah doa tentangnya, “wa ib’atshu maqâmam mahmudalladzi wa’adtahu…”

Ketinggian maqam Muhammad tentu bukan hal yang mudah untuk diketahui. Bahkan hampir-hampir mustahil. Namun dengan melihat hadis berikut mung-kin saja bisa mengantar kita untuk sedikit mengetahui siapa itu Muhammad lewat lisannya sendiri.

Nabi saw bersabda “Aku adalah Ahmad tanpa mim (m)”. Ahmad tanpa mim (m) akan berarti ahad (Esa), yang merupakan sifat Allah yang sangat unik. Mim yang merupakan simbol personafikasi dan manifestasi Allah dalam diri Muhammad pada hakekatnya adalah bayangan Ahad yang ada di alam semesta. Mim adalah wasilah antara makhluk dengan Khaliqnya. Mim ada-lah jembatan yang menghubungkan para kekasih Allah dengan Sang Kekasihnya yang mutlak. Dengan kata lain Muhammad adalah mediator antara makhluk dengan Allah Swt. Dialah mazhar al-Haq atau tempat kebenaran dan realitas Allah menampak di dunia ini. Dialah “Zahir”nya Allah di tengah makhluk-makhluk-Nya. Dialah aktivitas Allah yang dapat dilihat manusia dengan matanya, karena Allah Swt sendiri tak dapat dilihat. Iqbal berkata,

Duhai Rasul Allah

Dengan Allah aku berbicara melalui tabirmu

Denganmu tidak

Dialah Batinku

Dikaulah Zahirku

Menurut Iqbal, Muhammad benar-benar berfungsi “mim” yang “membumikan” Allah dalam kehidupan manu-sia. Dialah “Zahir”nya Allah; dialah Syâfi’ (yang memberikan syafaat, per-tolongan dan rekomen-dasi) antara makhluk dengan Tuhannya. Keti-ka Anda ingin merasakan kehadiran Allah dalam diri Anda, hadirkan Mu-hammad. Ketika Anda ingin disapa oleh Allah, sapalah Muhammad. Ke-tika Anda ingin dicintai Allah, cintailah Muham-mad. Qul inkuntum tuhib-bûnallâh fat tabi’ûnâ yuh-bibkumullâh, “apabila kali-an cinta kepada Allah maka ikutilah aku (Muhammad) kelak Allah akan cinta kepada kalian.”

Kepada orang seperti inilah kita diwajibkan cin-ta, berkorban dan bermohon untuk selalu bersamanya, di dunia dan akhirat. Sebab seperti kata Nabi, “Setiap orang akan senantiasa bersama orang yang dicintai-nya.”

Bukankah setiap kali kita mencintai sesuatu ma-ka kita akan mencari tahu segala hal yang berkaitan dengannya. Bahkan mungkin kita ingin menghadir-kannya selalu dalam liku-liku hidup kita. Bila Anda mencintai Imam Khomeini, misalnya, maka untuk cin-ta itu Anda akan melakukan banyak hal seperti me-nyimpan posternya, buku-bukunya, artikel-artikel yang ditulis tentangnya bahkan mungkin namanya. Cinta memang laksana air mengalir yang memindahkan se-luruh sifat dan karakter si kekasih kepada kita yang mencintainya.

Manfaat Cinta kepada Nabi Muhammad

Ketika Allah mewajibkan umat manusia untuk mencintai Nabi Muhammad saw, maka instruksi tersebut jelas bukan sebuah perintah tanpa tujuan. Ka-rena mustahil Allah akan memerintahkan sesuatu yang sia-sia. Tetapi tujuan tersebut juga bukan sesua-tu yang kepentingannya akan kembali kepada Allah atau Rasul-Nya, karena Allah Swt Mahakaya dari butuh pada sesuatu; dan Rasul-Nya juga tidak butuh pada interest terten-tu. Dengan demikian mencintai Rasulullah ada-lah sebuah perintah yang manfaatnya semata-mata untuk kepentingan manu-sia itu sendiri. Lalu, apa manfaat dari mencintai Rasulullah?

Ada manfaat yang instant dan ada juga yang jangka panjang. Di antara manfaat yang sege-ra akan kita rasakan ada-lah terpautnya hati ini pa-da pribadi Muhammad saw. Apabila kita jujur da-lam mencintai Muhammad, maka hati kita akan merindukan Muhammad; sama persis seperti tokoh kita di atas merindukan Rasulullah. Bedanya adalah dia bisa mengobati rindunya dengan mendatangi Muhammad secara langsung. Sementara kita mengobati rindu dengan hanya menyebut-nyebut namanya. “Barang siapa mencintai sesuatu maka dia akan menyebut-nyebutnya,” kata Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.

Apabila kita jujur dalam mencintai Muham-mad, maka jiwa kita akan terbentuk dan tercermin pada jiwa Muhammad saw. “Bukti cinta adalah mendahulu-kan sang kekasih di atas selainnya,” begitu kata Imam Ja’far al-Shadiq as.

Apabila kita jujur mencintai Muhammad, ma-ka kita akan berupaya mencari tahu segala sesuatu ten-tang dirinya; kehidupan pribadinya, kehidupannya da-lam keluarga, dengan sesama saudara, dengan ling-kungannya, dan lain sebagainya. Apabila kita ingin mengetahui sejarah Muhammad dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pribadi manusia yang agung ini, hendaklah diawali dengan rasa cinta terlebih dahu-lu. Apabila sudah tertanam rasa cinta, maka akan timbul sikap sungguh-sungguh untuk mengetahuinya secara akurat dan mendalam. Pengetahuan yang tidak dilan-dasi pada dasar cinta akan berakibat rancu, setengah-setengah dan kurang sempurna. Dari situ kita akan mengetahui mengapa Allah Swt mewajibkan kita un-tuk mencintai Muhammad saw, bahkan sebelum kita mengetahuinya sekalipun.

Di antara manfaat jangka panjang dari rasa cinta kita pada Muhammad saw adalah seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat yang kita kutip di atas; bahwa dia kelak akan bersama para nabi, shid-diqin, syuhada dan orang-orang saleh. Bahkan dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda:

Cinta padaku dan cinta pada Ahli Baitku akan membawa manfaat di tujuh tempat yang sangat mengerikan: di saat wafat, di dalam kubur, ketika dibangkitkan, ketika pembagian buku-buku catatan amal, di saat hisab, di saat penimbangan amal-amal dan di saat penitian shirat al-mustaqim.

Cinta Murni dan Cinta Semu

Ada dua jenis kategori cinta. Pertama, cinta yang berakhir dengan kebosanan. Untuk ini kita sebut saja dengan cinta semu. Kita cinta pada dunia, harta, anak-istri dan sebagainya. Cinta kita pada mereka ti-dak selamanya meluap-luap bak api membara. Ada saatnya cinta kita redup, bahkan kadang-kadang mati sama sekali. Kita mencintai anak kandung kita. Tapi apabila tiba-tiba dia durhaka pada orangtua, maka cin-ta bisa berbalik murka. Kita cinta pada dunia kita, yang halal tentunya. Tapi kadang-kadang timbul kebo-sanan sedemikian rupa sehingga kita meninggalkan-nya secara total. Cinta seperti itu adalah cinta semu, sebuah cinta yang berakhir pada kebosanan.

Kedua, cinta murni. Jenis cinta ini adalah cinta yang senantiasa hangat dan membara. Dengan cinta itu dia mengejar kekasihnya, melakukan sesuatu karena kekasihnya, bahkan mau mati semata-mata kare-na kekasihnya. Cinta seperti ini adalah cinta yang tidak pernah bosan dan berakhir. Cinta murni adalah sebu-ah cinta yang terbit untuk Allah Swt. Imam ‘Ali berka-ta: “Cinta pada Allah adalah api yang membakar segala sesuatu yang dilewatinya.” Karena cinta pada Allah, maka orang-orang mukmin mau mati di jalan-Nya. Cinta pada Allah memang bisa membakar setiap usaha yang menghalanginya.

Imam al-Shadiq berdoa: Ya Sayyidi, aku lapar dan tidak pernah kenyang dari mencintai-Mu; aku haus dan tidak pernah puas dari mencintai-Mu. Oh… betapa rindunya pada Dia. Yang melihatku tapi aku tidak melihat-Nya

Tentu cinta pada Allah adalah sejenis cinta murni. Tidak terselubung di dalamnya rasa benci, eng-gan dan murka. Cinta pada Allah adalah cinta pada kemutlakan; cinta yang tidak bertepi dan tidak ber-ujung. Tapi bagaimana dengan cinta pada Muhammad saw? Apakah cinta kepada Muhammad yang diwajib-kan Allah kepada kita adalah sejenis cinta semu atau cinta murni. Nabi saw bersabda: Cintailah Allah karena nikmat yang telah dianugerahkan-Nya pada kalian, cintailah aku karena cinta Allah (padaku) dan cintai-lah Ahli Baitku karena cintaku pada mere-ka.

Dalam hadis yang lain beliau bersabda: Tidak beriman seorang hamba sehingga aku lebih ia cintai daripada dirinya sendiri dan itrah (keluarga)-ku lebih ia cintai ke-timbang keluarganya…

Melihat hadis ini dan hadis-hadis sejenis yang lain terasa bahwa tuntutan untuk mencintai Muham-mad dan keluarganya bukan sejenis cinta semu yang kapan pun boleh hilang atau dihilangkan. Secara ver-tikal, ketika kita mencintai mereka sebenarnya kita juga mencintai Allah dan ketika kita membenci mereka kita pun membenci Allah.

No comments: