Popular Posts

Saturday, August 11, 2007

Skisme dalam Islam Sebuah Telaah ImageUlang

DR. Jalaluddin Rakhmat

Ketika matahari Islam sedang naik di sebelah Timur, di Barat Kristianitas terbelah dua pola: Gereja Romawi dan Gereja Yunani. Mereka berpisah seperti "a biological species divided in space and diversified in time." Kristen Yunani berdoa sambil berdiri, kristen Romawi sembahyang sambil berlutut. Pembaptisan di Yunani dilakukan dengan penyelaman, di Romawi dengan pemercikan. Pernikahan dilarang bagi pastor Romawi, tetapi diperbolehkan bagi pastor Yunani. "Kiai" Yunani memelihara janggut, sedangkan rekannya dari Roma mencukurnya.

Pastor Romawi ahli politik, pastor Yunani ahli teologi. Terakhir, teolog Yunani menolak tambahan filioque pada syahadat sex patre filioque procedit hasil perumusan Gereja Romawi. Pada tahun 1043, Michael Cerularius, Patriarch Konstantinopel, menyebarkan tulisan yang mengkritik keras Paus di Roma. Sebagai balasan, Paus St. Leo mengekskomunikasikan Cerularius dan menggelari pengikut-pengikutnya sebagai "an assembly of heretics, a conventicle of schismatics, a synagogne of Satan." (Durant, 1950:544).

Peristiwa ini disebut sebagai skisma besar Gereja Timur. Lebih dari tiga abad kemudian, kardinal-kardinal Perancis berkumpul di Anagui, mengeluarkan manifesto yang mengatakan pemilihan Paus Urbanus VI tidak sah. Sebagai gantinya, mereka mengangkat Robert dari Genewa dengan gelar Clement VII. Dua Paus bertahta, masing-masing menyebut yang lain sebagai Judas. Pertentangan keduanya dan pengikutnya sampai kepada tingkat saling mengkafirkan. Menurut laporan Will Durant (Durant), 1953:362) "Each side claimed the sacraments administered by priests of the opposite obedience are invalid, and that the children so baptized, the penitents so shriven, the dying so anointed, remained in a state of mortal sin, doomed to hell or limbo if death should supervene."

Peristiwa ini pun disebut sebagai Skisma Besar. Skisma memang bukan istilah Islam. Sebuah kamus klasik, Encyclopedisch Woordenbock voor Groot-Nederland (Ter laan, 1937:648) menjelaskan makna skisme: Schisma, (Gr.= shedding), de afscheiding van een deel van de Gr. Katholieke kerk van Rome, 1054; de sheuring in de. R.K. kerk, 1378-1407, toen er verschillende pausaen tegelijk waren. Bila skisme adalah istilah Kristiani, mengapa kita tiba-tiba bicara tentang skisme dalam Islam. Pernahkan Islam mempunyai Paus dua dan di antara keduanya ada tuduhan saling mengkafirkan? Bukankah umat Islam adalah "ummatan wahidatan" (QS. 23:53; 21:92)? Bukanlah mereka seperti bangunan yang kokoh, yang saling menguatkan satu sama lain; atau seperti tubuh yang satu, sehingga kalau satu anggota sakit, anggota-anggota lainnya ikut demam dan panas?

Mula-mula saya menganggap istilah skisme dalam Islam sebagai mengada-ada; sehingga begitu saja mendengarnya, saya segera berkomentar, "Ah, ada-ada saja!." Tetapi, setelah saya merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas terlintas dalam ingatan saya sebuah hadits, Nabi Muhammad berkata, "Kalian akan mengikuti tradisi umat sebelum kalian, sesiku demi sesiku, sehingga bila mereka memasuki gua serigala, kamu pun akan mengikutinya. Sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashara." Nabi menjawab, "Siapa lagi." [1] Kata skisme tidak mengada-ada. Walaupun skisme berasal dari dunia kristen, tradisi yang sama telah diikuti umat Islam juga. Ada tiga kesamaan antara skisme Kristiani dengan perpecahan dalam Islam.

Pertama, Will Durant melukiskan skisme besar tahun 1054, ia menulis, "...these galling political events, and not the slight diversities of creed, severed Christendom into East and West." (Durant, 1950:544). Al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal menulis, "Tidak pernah darah ditumpahkan dan pedang dihunus dalam Islam kecuali karena pertikaian masalah imamah (kepemimpinan)." Secara singkat, baik skisme dalam Kristen maupun skisme dalam Islam lebih banyak dilandasi pertikaian kepentingan politik daripada karena pertikaian aqidah. Kedua, pertikaian politik sering dicarikan legitimasinya dengan pengembangan teologi yang berlainan. Tidak jarang, legitimasi ini diperoleh dengan memalsukan sumber-sumber ajaran agama atau memberikan penafsiran yang diselewengkan. Pertikaian dalam gereja Katolik, yang semula bersifat politis, kemudian diperluas ke dalam bidang liturgi dan doktrin: begitu pula, dalam Islam. Seperti dalam dunia Kristiani, dalam Islam pun kaum politisi memperbesar perbedaan doktrinal yang kecil untuk menyuburkan fanatisme –saling mengkafirkan dan saling membid'ahkan.

Ketiga, di dunia Katolik pernah muncul gerakan konsiliasi (cinciliar movement) yang dipelopori oleh kaum cendekiawan. William Occam menentang identifikasi Kristianitas dalam gereja tertentu. Heinrich von Langenstein, teolog dari Universitas Paris, menulis buku Concilium Pacis (1381); dan lain-lain. Dalam Islam, tokoh-tokoh cendekia seperti Syaikh Syaltut (dari ahl al-Sunnah), Kasyif Githa (dari Syi'ah), dan Jamaluddin al-Afgani (tidak jelas dari Sunnah atau Syi'ah), menggalakan upaya-upaya taqrib. Sayang, seperti dalam dunia Kristiani, dalam Islam pun umat terbanyak lebih banyak mendengar suara politisi ketimbang cendekiawan.

Tulisan ini, terus terang saja, ingin mengikuti suara cendekiawan dan mengesampingkan suara politisi. Jadi, walaupun membicarakan skisme, tujuan akhirnya adalah menumbuhkan sikap persatuan –sikap nonskismatik, sikap nonsektarian. Walaupun –karena sifat ajarannya– Islam tidak memisahkan aspek politik dan aspek intelektual, untuk mudahnya saja, di sini kedua aspek itu dipisahkan. Bagian pertama makalah ini akan membicarakan skisme politik, dan bagian kedua skisme intelektual. Pada bagian akhir, makalah ini akan mengajukan rekomendasi apa yang seharusnya kita lakukan. Ada beberapa kali terjadi skisme politik besar dalam sejarah Islam: pemberontakan 'Aisyah terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib, pertentangan khalifah antara Mu'awiyah dan Ali bin Abi Thalib setelah perjanjian Shiffin, perlawanan Husayn bin Ali terhadap Yazid, atau penobatan Abdullah bin Zubair (681-692) sebagai Khalifah bersamaan dengan masa Khalifah Yazid, atau penobatan Syarif al-Husain sebagai Khalifah tandingan khalifah Utsmaniyah, yang baru saja dihapuskan tiga hari sebelumnya. Di antara semua skisme tersebut, skisme yang tetap berpengaruh sampai sekarang adalah skisme-skisme yang melahirkan polarisasi Sunnah - Syi'ah (yaitu tiga skisme yang pertama). Karena itu, di sini kita akan meneliti perbedaan konsep politik di antara kedua madzhab besar itu dan melacak penyebab-penyebabnya.

Antara Khalifah dan Imamah

Hamid Enayat menyebutkan tiga konsep kunci untuk pandangan politik Ahl al-Sunnah, yakni Khalifah, ijma' dan bay'ah. Ketiga konsep kunci untuk pandangan politik Syi'ah, yakni, imamah, wilayat, dan 'ishmah. Ijma' dan bay'ah diterima juga dalam Syi'ah walaupun dalam arti yang terbatas. Wilayah dan 'ishmah merupakan karakteristik tak terpisahkan dari imamah. Karena itu, abstraksi pandangan politik ahl al-Sunnah dapat disimpulkan hanya pada perbedaan konsep imamah dan khilafah yang dianut Syi'ah.

Al-Syahrastani membedakan di antara kedua madzhab ini dalam hal kepemimpinan politik. Ahl al-Sunnah menetapkan pemimpin melalui kesepakatan (al-ittifaq) dan pemilihan (al-ikhtiyar). Sementara itu, Syi'ah menetapkan pemimpin lewat keterangan agama (nash) dan penunjukan (ta'yin). Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah (450 H) dan Abu Ya'la dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah (458 H) semuanya menulis, "Kepemimpinan ditetapkan dengan dua cara: pertama, pemilihan Ahl al-Hal wa al-'Aqd; dan kedua, penunjukan imam sebelumnya" (Perlu dicatat di sini bahwa penulis-penulis di atas adalah ulama ahl al-Sunnah, tetapi anehnya menyebut kepemimpinan dengan istilah imamah).

Ahl al-Sunnah berpegang pada ketentuan syura sebagai landasan kepemimpinan dan menunjuk QS. al-Syura 38 dan Ali Imran 164 sebagai dalil. Jadi karena pemimpin adalah hasil syura, pemimpin tidak perlu ditunjuk oleh nash. Umat boleh memiliki (ikhtiyar) pemimpin yang disepakatinya (ittifaq) Dalam kenyataan, Ahl al-Sunnah tidak mempunyai konsepsi yang jelas tentang ketentuan-ketentuan syura, siapa yang memilih, dan berapa jumlah orang yang sepakat.

Menurut Al-Mawardi, syura, boleh dilakukan dalam jumlah terbatas dan ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang. Pengangkatan Abu Bakar dipilih oleh Umar bin Khathab, Abu 'Ubaidah bin al-Jarah, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Sa'ad, dan Salim Mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula Umar mempercayakan Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu di antaranya sebagai khalifah. Ini pendapat fuqaha Bashrah. Menurut fuqaha Kufah, syura cukup tiga orang dan satu diantara mereka disepakati oleh dua orang yang lain. Bukankah aqad nikah sah dengan dua saksi dan satu wali? Kata kelompok yang lain, syura dan ittifaq cukup dilakukan oleh seorang saja (sic!), seperti ketika 'Abbas mendatangi Ali untuk membai'atnya. Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam al-Sulthaniyah 6-7; dikutip lagi dari Al-Askari, 1406:147.

Akhirnya, menurut Ahl al-Sunnah, pemimpin bahkan dapat disahkan tidak lewat ittifaq tetapi lewat al-ghalabah (kemenangan perang). Empat imam madzhab Ahl al-Sunnah sepakat bahwa pemimpin sah dengan salah satu di antara empat cara (al-Yahfufi, 1406: 234-256), yaitu: (1) sistem syura yang terbatas (seperti pemilihan Abu Bakar); (2) sistem istikhlaf (penunjukan pengganti seperti yang dilakukan Abu Bakar terhadap 'Umar; (3) sistem syura dari dewan formatur yang ditunjuk khalifah sebelumnya (seperti pengangkatan Utsman bin Affan); (4) sistem al-ghalabah bi al-saif (penaklukan dengan kekuatan militer seperti yang dilakukan Mu'awiyah)

Syi'ah berpendapat bahwa imamah hanya sah bila ditegaskan dalam nash. Mereka beryakinan bahwa Rasulullah Saw menunjuk pengganti-pengganti sesudahnya untuk memimpin umat Islam. "Sejak pertama kali ia mengajak orang pada Islam," kata Al-Askari (1406:202). "Ia telah memikirkan dan merencanakan pelanjutnya ... untuk menegakkan masyarakat Islam." Sayyid Muhammad Husayn Tabatabai (t.t.: 39) menulis: From the Shi'ite point of view it appears as unlikely that the leader of a movement, during the first days of his activity, should introduce to strangers one of his associates as his successor and deputy, but not introduce him to his completely loyal and devout aides and friends. Nor does it appear likely that such a leader should accept someone as his deputy and successor and introduce him to others as such, but then throughout his life and religious call deprive his deputy of his duties as deputy, disregard the respect due to his position as successor, and refuse to make any distinctions. Walhasil, menurut Syi'ah, ada nash-nash yang jelas dari Rasulullah Saw yang menunjukkan Ali sebagai penggantinya dan sebelas orang imam dari keturunannya. [3]

Karena imam itu ditunjuk oleh nash, maka tentu imam adalah orang yang terbaik, bahkan terpelihara dari dosa. Ini melahirkan kontroversi al-fadhil dan al-mafdhul. Al-Hilli (dalam Al-Hasan, 1396: 27) menulis:

Imam mesti yang paling utama dari rakyatnya. Madzhab Imamiyah sepakat tentang hal itu. Al-Jumhur (yakni, Ahl al-Sunnah) membolehkan mendahulukan al-mafdhul di atas al-fadhil. Dengan begitu mereka menyalahi akal dan nash al-Kitab. Akan menganggap tidak baik mendahulukan al-mafdhul dan menghinakan al-fadhil. Al-Qur'an menentang hal itu dengan berkata, "Apakah orang yang memberi petunjuk kepada yang benar lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk, bahkan harus diberi petunjuk. Bagaimana kalian menetapkan keputusan?"

Karena Syi'ah menetapkan al-fadhil dan Ahl al-Sunnah membolehkan al-mafdhul sebagai imam, terjadilah kontroversi berikutnya. Syi'ah melarang dan Ahl al-Sunnah mengharuskan pentaatan pada penguasa yang zalim. Al-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim-nya, "Berkata jumhur ahl al-Sunnah dari kalangan fuqaha, mahaddtsin, dan mutakallimun bahwa imam tidak boleh dimakzulkan karena kefasikan, dan kezhaliman, atau pelanggaran hak. Ia tidak boleh diturunkan dan tidak boleh orang keluar menentangnya. Wajib bagi rakyat menasihati dan memperingatkannya." Sebelum itu ia menulis (Syarh Muslim 12: 229), "Keluar memerangi mereka haram berdasarkan ijma' kaum muslimin, walaupun mereka fasik dan zalim. Sudah jelas sekali hadits-hadits yang menunjukkan pengertian yang saya sebut. Ahl al-Sunnah ijma' bahwa sulthan tidak boleh dimakzulkan karena kefasikan."

Kontroversi selanjutnya adalah tindakan untuk menjawab pertanyaan manakah yang lebih utama, penguasa muslim yang zhalim atau penguasa kafir yang adil. Ahl al-Sunnah memilih yang pertama, dan Syi'ah mengikuti yang kedua. Syaikh Jawad Mughniyah (1406: 26) berpendapat, "Ketika Syi'ah menegaskan bahwa khilafah adalah hak ilahi bagi Ali dan keturunannya, mereka telah bersikap ekstrem dalam toleransinya terhadap penguasa yang adil. Mereka mengutamakan non-muslim jika ia adil daripada seorang penguasa Muslim yang zhalim. Ibn Thawus yang masyhur menegaskan, kafir yang adil lebih baik dari Muslim yang zhalim.

Kontroversi lain –yang justru sangat esensial– adalah hubungan antara kepemimpinan relegius dengan kepemimpinan politis. Bagi orang Syi'ah, pada kata imamah (yang secara khusus berarti kepemimpinan ruhaniah) juga terkandung makna wilayah (secara khusus berarti kepemimpinan politis). Dengan demikian, ahl al-bayt –di samping memegang hak kepemimpinan politis– juga menjadi rujukan dalam masalah-masalah keagamaan. Orang Syi'ah sering mendefinisikan diri mereka sebagai madzhab ahl al-bayt. Sementara itu, sejak berakhirnya Khulafa al-Rasyidun, ahl al-Sunnah memisahkan kedua kepemimpinan itu. Pada bidang religius, misalnya, orang mengikuti Imam Malik, dan pada bidang politis, mereka mengikuti khalifah al-Manshur. Secara politis, ahl al-Sunnah berpegang pada kaidah yang diberikan Ibn Umar pada waktu ada pertikaian antara Ali dan para penentangnya, Nahnu ma'a man ghalab" (Kami bersama orang yang berkuasa).

Dari perbedaan pengangkatan pemimpin (ikhtiyar atau ta'yin), perbedaan kualifikasi pemimpin (al-fadhil atau al-mafdhul), perbedaan preferensi penguasa (kafir yang adil atau muslim yang zhalim), dan perbedaan dalam memandang hubungan kekuasaan politis dengan kekuasaan religius (digabungkan atau dipisahkan), lahirlah skisme politik besar Islam yang berlangsung sampai kini.

Mengapa terjadi perbedaan itu, padahal kedua madzhab ini lahir dari Islam yang sama dan pengikut Nabi Saw yang sama? Ada beberapa teori yang menjawab pertanyaan ini. Kita hanya akan mengulas dua teori saja: teori sosioantropologis Bangsa Arab dan teori pendekatan doktrinal.

Teori Sosio-Antropologis Bangsa Arab

Teori ini dikemukakan oleh Nicholson (1969), Wellhausen (1927), Goldziher (1967), dan secara terperinci dijelaskan kembali oleh Jafri (1967). Tidak mungkin dalam makalah ini, saya menguraikan teori ini secara lengkap. Secara singkat, teori ini berpijak pada dua asumsi: (1) Bangsa Arab adalah bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan; kesetiaan pada suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi sangat penting; (2) Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan terdiri dari dua subkultur, yaitu subkultur Arab Selatan dan subkultur Arab Tengah-Utara.

Asumsi pertama menunjukkan bahwa status sosial seseorang sangat ditentukan oleh status marganya. Setiap anggota marga bangga dalam menghitung-hitung prestasi nenek moyangnya. Karena itu, kehormatan seseorang dalam bahasa Arab disebut hasab (dari akar kata hasiba yang berarti menghitung). Orang Arab percaya bahwa selain karateristik fisikal, karakteristik perilaku juga herediter. Menarik untuk dicatat bahwa khalq (karakteristik fisik) dan khuluq (perilaku) ditulis sama dalam bahasa Arab.

Perilaku yang menjadi tradisi suatu kabilah, dan menjadi kebanggaan anggota kabilah, lazim disebut Sunnah. Di antara sunnah yang paling dihargai adalah mengurus dan memelihara tempat-tempat suci. Bagi bangsa Arab, khususnya Arab Selatan, pengurusan rumah suci (bayt) dan kehormatan (hasab) tidak dapat dipisahkan. Karena itu, sejak zaman jahiliyah orang Arab tidak mengenal pemisahan antara kepemimpinan temporal dan kepemimpinan sakral.

Ka'bah adalah rumah suci yang dihormati semua kabilah Arab. Kabilah yang mendapat tugas secara turun temurun memelihara Ka'bah disebut sebagai "keluarga al-bayt" atau ahl al-bayt. Sejak awal, kepemimpinan Arab dipegang oleh keturunan Qushayy. Dalam pertentangan memperebutkan kedudukan ahl al-bayt, Bani Hasyim menang dan menyisihkan lawannya dari Bani Abd al-Syams. Karena itu Bani Hasyim dikenal bangsa Arab sebagai Ahl al-Bayt. Pada masa Abu Thalib, Bani Abd al-Syams perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan politik dan bani Hasyim mulai melemah. Ketika keturunan Umayyah merasakan ada angin baru yang menguntungkan mereka, muncullah Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Muthalib. Ia mengembalikan lagi wibawa kepemimpinan Bani Hasyim sebagai Ahl al-Bayt. Nabi Saw menyadari betul aspek-aspek kultural dari kepemimpinan ahl al-bayt. Tema ahl al-bayt memiliki appeal yang kuat bagi bangsa Arab. Kepemimpinan ahl al-bayt menggabungkan dimensi temporal dan sakral sekaligus. Bani Umayyah tentu tidak rela dengan return of power dari Bani Hasyim. Perlawanan terhadap Islam, karena itu, datang paling banyak dari Bani Umayyah.

Ketika Nabi hijrah ke Madinah, menemui suku Aws dan Khazraj yang berasal dari Arab Selatan. Mereka adalah suku Arab yang memiliki sensitivitas religius yang tinggi. Bila inskripsi pada monumen di Arab Utara memuja keberanian dan kepahlawanan, inskripsi pada monumen Arab Selatan menunjukkan perasaan syukur dan penyerahan diri pada Tuhan. Pada suku-suku Arab Utara, pemimpin umumnya dipilih berdasarkan usia atau senioritas; pada Arab Selatan, pemimpin dipilih berdasarkan kesucian keturunan (hereditary sanctity).

Dari kedua subkultur inilah, berkembang skisme Sunnah-Syi'ah. Ahl al-Sunnah, sejak Mu'awiyah merebut kekuasaan berupaya untuk menekan konsepsi kepemimpinan ahl al-bayt. Karena secara doktrinal, Islam menyuruh menghormati ahl al-bayt (yang sekarang didefinisikan lebih terbatas lagi sebagai keturunan Rasulullah Saw), penguasa-penguasa yang bukan ahl al-bayt tidak menafikan kehormatan itu. Yang tidak mereka inginkan adalah gabungan antara kehormatan religius dengan kehormatan politik. Inilah, misalnya, argumentasi yang dikemukakan Umar bin Khathab kepada 'Abbas ketika bertengkar masalah kepemimpinan 'Ali, "Orang banyak tidak menginginkan nubuwwah dan khalifah bergabung pada Bani Hasyim" (Tarikh Thabari 1: 2769). Mungkin, karena itu pula, Ali pernah memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah –yang sudah dikuasai Bani Ummayah– ke Kufah. [4]

Teori Pendekatan Doktrinal

Sayyid Baqr Shadr (1982:73-96) mengemukakan apa yang kita sebut sebagai teori pendekatan doktrinal. Saya akan menerjemahkan sebagian argumentasi Shadr ini tanpa memberikan komentar sedikitpun: Bila kita mengikuti periode permulaan dari kehidupan umat Islam di zaman Nabi Saw kita temukan dua aliran utama yang berbeda, yang menyertai perkembangan umat dalam permulaan eksperimen Islam, sejak dini. Keduanya hidup bersama dalam lingkungan umat yang dilahirkan oleh Rasul sang pemimpin. Perbedaan di antara kedua aliran ini telah menimbulkan perbedaan doktrinal sesudah wafat Rasulullah Saw, memisahkan umat dua kelompok besar. Salah satu kelompok berhasil berkuasa dan sanggup berkembang sehingga mencakup mayoritas kaum muslimin. Kelompok yang lain tidak berhasil memperoleh kekuasaan dan berkembang sebagai kelompok minoritas menghadapi lingkungan Islam yang umum. Minoritas ini adalah Syi'ah.

Dua aliran utama yang menyertai pertumbuhan umat Islam di zaman Nabi sejak awal adalah:

(1) Aliran yang beriman sepenuhnya pada ta'abbud bi 'l-din berhukum dan berserah mutlak pada nash-nash agama dalam seluruh bidang kehidupan.

(2) Aliran yang hanya merasa tunduk pada agama pada bidang-bidang khusus seperti ibadah dan hal-hal yang ghaib. Aliran ini meyakini kemungkinan ijtihad; membolehkan memalingkan nash agama pada bidang-bidang kehidupan di luar bidang-bidang kehidupan di atas, sesuai dengan kemaslahatan masyarakat, dengan peralihan atau perubahan.

Sahabat adalah kelompok Mukmin yang cemerlang; benih yang paling utama pada saat pertumbuhan risalah, sehingga sejarah manusia tidak pernah menyaksikan generasi aqidah yang lebih mulia, lebih suci, dan tinggi dari generasi yang dilahirkan Rasulullah.

Walaupun demikian, karena harus tunduk pada adanya aliran yang luas pada bidang kehidupan, para sahabat cenderung mendahulukan ijtihad untuk memperkirakan dan memperoleh maslahat daripada ta'abbud secara harfiyah pada nash-nash agama. Rasul telah bertahan berkali-kali menghadapi aliran ini, sampai pada saat menjelang kematiannya (yang akan diuraikan nanti). Di samping itu, ada juga sahabat yang bertahkim dan bertaslim sepenuhnya pada nash-nash agama di semua bidang kehidupan.

Aliran kedua, aliran ijtihadi, tampaknya lebih menyebar di kalangan kaum muslimin karena kecenderungan manusia untuk tunduk pada kemaslahatan yang dapat dipahami dan diperkirakannya, serta meninggalkan kecenderungan mengikuti kemaslahatan yang tidak dapat dipahami tujuannya. Yang mengikuti aliran ini terdiri dari sahabat-sahabat besar. Umar bin Khathab pernah melawan Rasulullah Saw dan berijtihad pada banyak kejadian, yang bertentangan dengan nash, dengan meyakini bahwa apa yang dilakukannya benar.

Pernah kedua aliran ini bertentangan di hadapan Rasul pada hari-hari terakhir kehidupannya. Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Ibn 'Abbas. Ia berkata: "Menjelang Rasulullah Saw wafat, di rumahnya ada banyak orang, di antaranya Umar bin Khathab. Nabi berkata: Mari aku tuliskan untuk kamu tulisan sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Berkata Umar: Nabi Saw sedang dicengkram sakit. Di hadapan kalian ada al-Qur'an.

Cukuplah bagi kita Kitab Allah. Penghuni rumah itu pun bertikai. Sebagian berkata: Dekatkan supaya Nabi menulis (wasiat) kitab sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Sebagian lagi berkata seperti kata Umar. Ketika sudah ramai perbincangan dan pertikaian di hadapan Nabi, ia berkata: ”Pergilah kalian." Peristiwa ini cukup menunjukkan dalamnya pertikaian dan pertentangan di antara kedua aliran ini.

Skisme Intelektual

Dari kedua aliran ini kemudian berkembang aliran-aliran lainnya, yang tidak mungkin semuanya dibahas di sini. Kebanyakan aliran-aliran itu muncul sebagai hasil refleksi intelektual. Skisme intelektual (mungkin malah tidak tepat disebut skisme) memang bisa menjadi solid, ketika para politisi mulai masuk. Skisme ini dapat terjadi pada bidang ilmu kalam atau bidang fiqh. Abu Zuhrah (1987) menyebut yang pertama ikhtilaf 'aqaidi dan yang kedua ikhtilaf fiqhi. Saya tidak akan memperinci kedua ikhtilaf ini, tetapi hanya akan menunjukkan penyebab timbulnya ikhtilaf tersebut.

Sebab-sebab yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur'an dan al-Sunnah. Banyak orang berpikir sederhana: pertikaian akan segera selesai bila kita kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah. Pertikaian justru terjadi ketika kaum Muslim berusaha memahami al-Qur'an dan al-Sunnah. Di dalam kedua sumber tasyri' ini terdapat kata-kata atau kalimat yang musytarak (mengandung makna ganda), lafazh yang 'am (berlaku umum) dan khash (berlaku khusus), yang muthlaq dan yang muqayyad (bersyarat).

Lihatlah perbedaan pemahaman ayat tayamum ini. "Dan jika kamu sakit atau sedang bepergian, atau jika salah seorang di antara kamu datang dari jamban, atau setelah kamu menjamah wanita, atau kamu tak menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, dan sapulah muka kamu dan tangan kamu itu," (al-Qur'an 5: 6). Kalimat ini dipahami Abu Hanifah sebagai berikut: Orang yang tidak bepergian, tidak sakit, dan ada air, tidak berlaku tayammum baginya, dan tidak wajib shalat. Ayat tersebut hanya mewajibkan tayammum bila tidak ada air khusus pada yang sakit atau musafir. Madzhab yang lain berpendapat bahwa syarat sah tayammum adalah salah satu di antara tiga kondisi: tidak ada air, atau sakit, atau bepergian. Apa yang dimaksud "air"? Kata madzhab Hanafi, air itu termasuk air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air teh). Kata madzhab yang lain, air mutlak saja. "Debu" meliputi pasir dan tanah, kata Syafi'i; tanah saja, kata Hambali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam, kata Maliki; tanah, pasir, dan batuan, kata Hanafi dan Hambali; sebagian wajah oleh Ja'fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960).

Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash yang berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita mengenal Jabbariyah dan Qadariyah. Perbedaan ini akan makin melebar, ketika kita memasuki pengkajian-pengkajian Islam yang lebih operasional seperti epistimologi Islam, teologi Islam, dan sebagainya.

Sebab-Sebab yang Berkenaan dengan Sunnah

Masalah-masalah yang berkenaan dengan sunnah lebih musykil lagi. Kemusykilan pertama terjadi ketika kita mengambil pelajaran dari hadits: apakah yang diberitakan hadits itu Sunnah atau bukan. Manakah yang sunnah, mengampuni para tawanan (seperti yang dilakukan Rasulullah Saw pada Fath Makkah) atau membunuhnya (seperti yang dilakukan Nabi pada perang Khandaq). Jamaat Tabligh berpendapat makan di bawah, menjilati jari setelah makan, dan menggunakan siwak adalah sunnah; umat Islam yang lainnya tidak beranggapan begitu.

Kemusykilan kedua adalah sampai atau tidak sampainya hadits. Hadits dilaporkan oleh para sahabat, yang mempunyai lingkup pengalaman yang berlainan bersama Rasulullah Saw. Ada yang menyertai Nabi hampir setiap saat, dan ada yang berjumpa dengan Nabi sesaat saja. Umar melaporkan bahwa mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya. Karena itu, ia mencambuki orang yang menangisi mayat. 'Aisyah menolak hadits 'Umar ini. Ketika Ibnu Umar melaporkan lagi hadits dari ayahnya, 'Aisyah berkata, "Semoga Allah meyayangi Abu Abd al-Rahman (yakni, Ibn Umar). Ia mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya. Pernah lewat jenazah Yahudi di depan Rasulullah Saw. Mereka menangisi jenazah itu. Nabi berkata, kalian menangis, padahal ia sedang disiksa." [5]

Sebab-sebab Berkenaan dengan Perbedaan Kaidah Ushul Fiqh

Apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu di ujunguya ada kata yang mengecualikan (istitsna), kemana pengecualian itu berlaku? Kepada semua kalimat atau kepada kalimat yang terakhir. Yang pertama dipilih oleh Syafi'i, Maliki, Hambali. Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang berkenaan dengan tuduhan berzinah (QS. 24:4) mengandung tiga kalimah: (1) "Deralah mereka 80 deraan," (2) "Jangan terima kesaksian mereka selama-lamanya," dan (3) "Mereka itulah orang-orang fasik." Istitsna datang sesudah kalimat-kalimat itu. Apakah deraan harus dihilangkan bila orang taubat, apakah kesaksian penuduh dapat diterima bila orang itu telah bertaubat? Semua madzhab –selain Hanafi– memilih rnenjawab "ya" untuk pertanyaan-pertanyaan di atas.

Inilah salah satu contoh perbedaan penggunaan kaidah Ushul Fiqh. Di samping itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad yang tidak disepakati. Misalnya, istishlah, qiyas, istihsan, qaul shahabat, dan sebagainya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Saya ingin mengakhiri makalah ini dengan menuliskan kembali apa yang saya sampaikan pada tempat lain (Rahmat, 1986: 99-103).

1. Sepakat pada yang qath'i, siap berbeda pada yang dzhann-i: Kita dapat membagi hukum-hukum fiqh ke dalam dua bagian besar.

Pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah, dan muammalah yang disetujui bersama, apa pun madzhabnya. Kedua, bertalian dengan cabang-cabang (furu') dari pokok-pokok di atas yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Seorang tidak dikatakan Muslim lagi bila berbeda pada bagian fiqh yang pertama. Adalah kenyataan yang menakjubkan walaupun sering lolos dari perhatian kita bahwa dalam bagian pertama seluruh madzhab mencapai kesepakatan. Dalam hal akidah –semuanya percaya kepada Allah yang Esa, Muhammad Rasulullah, dan Hari Kebangkitan. Tentang shalat, tidak ada perbedaan antara Ahl al-Sunnah dan Syi'ah dalam hal bilangan rakaat, jumlah ruku' dan sujud, jumlah shalat wajib, dan bagian-bagian shalat yang penting lainnya. Perbedaan mulai terjadi pada rincian dari pokok-pokok itu. Semua sepakat shalat dimulai dengan takbir, mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam takbir. Kita akan segera menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan dalil-dalil qath'i dan bagian kedua berdasarkan dalil-dalil zhanni. Pada bagian yang kedua sepatutnya kita saling menghargai dan menggunakan perbedaan pendapat untuk pengembangan wawasan tentang Islam.

2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip silaturahim:

Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang zhanni, kita harus menguji perbedaan paham itu lewat ukuran-ukuran naqli dan aqli. Dengan ukuran naqli, saya maksudkan, mencari dalil-dalil yang paling kuat lewat kritik hadits (yang secara konvensional telah disepakati oleh ulama ahli hadits) dan ilmu-ilmu al-Qur'an (kalau berkenaan dengan penafsiran al-Qur'an). Ukuran aqli –yang saya definisikan sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis suatu proposisi– hanya boleh dilakukan setelah pengujian naqli. Misalnya, bila dalil-dalil yang dipergunakan sama-sama kuat. Ini cara untuk menghindarkan "terburu-buru" menangkap ruh dari suatu nash. Orang yang menganggap bahwa setiap orang berhak ijtihad dan menafsirkan al-Qur'an karena ruh ajaran Islam itu egalitarian, terjebak dalam keterburu-buruan. Mencurigai hadits-hadits tentang wasiat Nabi kepada keluarganya, betapapun banyak dan sahihnya, sebagai pertentangan dengan prinsip egalitarian al-Qur'an [6] adalah mendahulukan kritik 'aqli daripada kritik naqli. Demikian pula halnya dengan keberatan sementara orang terhadap hadits-hadits tentang Imam Mahdi, misalnya. Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarjih. Tetapi betapapun kuatnya, pendapat itu tetap zhanni. Di tengah-tengah umat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh tidak merusak keutuhan umat atau tidak mendatangkan mudharat.

Ini saya sebut prinsip silaturrahim. Ibnu Mas'ud berpendapat shalat Dzuhur dan 'Ashar di Mina harus di qashar. Ketika Utsman shalat empat rakaat, Ibnu Mas'ud shalat juga empat rakaat. Ketika ditegur ia menjawab, "Perselisihan itu semua jelek" (al-khilaf syarr kullah). Ibnu Umar shalat empat rakaat, tetapi mengulang lagi shalatnya di rumah (para ulama menyebutnya ihtiyath). Ali yakin ia paling berhak menjadi khalifah, tetapi ia menahan diri karena memikirkan kemaslahatan umat. Imam Syafi'i tidak membaca qunut pada shalat Shubuh karena menghormati makam Abu Hanifah yang tidak jauh dari situ.

Di Indonesia, banyak paham timbul –barangkali setelah melakukan tarjih. Sayang sekali, keyakinan kita terhadap paham kita terlalu tinggi sehingga kita cenderung eksklusivistis dan meninggalkan prinsip silaturrahim. Akibatnya, kita cenderung menerima informasi hanya lewat sumber-sumber yang kita setujui dan menutup diri dari informasi yang datang dari sumber lain. Ini mempertebal ketergantungan kepada paham fiqh kita. Dan seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak berujung.

3. Ijtihad bagi Ulama dan taqlid bagi orang awam: Membedakan mana yang qath'i dan zhanni, mengkritik hadits, melakukan tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan setiap orang.

Al-Qur'an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan, "Katakan, apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidakkah kalian pikirkan itu?" (QS. al-Ra'd:16); "Tidak sama orang buta dan orang yang melihat. Tidak sama kegelapan dan cahaya" (QS. Fathir:19); "Katakan, apakah sama orang vang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan" (QS. al-Zumar:9) "Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan" (QS. Al-Mujadilah: 11). Mengizinkan setiap orang berijtihad –tanpa mempedulikan perbedaan mereka dalam pengetahuan agama– dapat menimbulkan chaos. Seperti sangat beragamnya kemampuan dan pengetahuan orang, seperti itu pula beragamnya perbedaan pendapat. Ilmu mengurangi perbedaan, karena ilmu meletakkan konvensi-konvensi yang disetujui bersama, di samping membuat kendala-kendala yang berbentuk kriteria. "Berijtihad" tanpa ilmu berarti membuang seluruh konvensi dan kriteria, dan ini berarti anarki.

Salah satu penyebab perpecahan ialah pendekatan parsial yang pada gilirannya disebabkan kekurangan pengetahuan. Ijtihad sebetulnya secara inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu. Ijtihad memerlukan pengetahuan yang komprehensif tentang Islam; dan ini berarti, hanya sekelompok kecil orang yang dapat melakukannya.

CATATAN

1) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, al-Turmidzi al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar. Berbagai matan hadits ini dan penjelasannya dapat dibaca pada Al-Sayyid Murtadha al-Askari, Khamsun wa Mi-ah Shahabi Mukhtalaq, Beirut: Dar al-Turats al-Islami, 1974.

2) Al-Sayyid Murtadha al-'Askari menulis studi perbandingan antara Sunnah dan Syi'ah dalam Ma'alim al-Madrasatain (Teheran: Al-Bi'tsah, 1406). Ia menyebut Ahl al Sunnah sebagai madrasah al-khilafah dan Syi'ah sebagai madrasah al-imamah.

3) Hadits tentang dua belas imam ini diriwayatkan juga dalam kitab-kitab shahih di kalangan Ahl al-Sunnah. Lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah; Musnad Ahmad 5:89, Shahih al-Turmudzi 2: 35: Mustadrak al-Shahihain 4: 501; Kanz al-Ummal 6: 201.

4) Mayoritas penduduk Kufah adalah orang Yaman dari Arab Selatan. Orang-orang Yaman adalah para pendukung Syi'ah. Karena mereka berasal dari kerajaan Saba, mereka kemudian dikenal sebagai Sabaiyyah. Begitu banyaknya Sabaiyyah yang mendukung Syi'ah, sehingga Syi'ah sering disebut sebagai Sabaiyyah.

5) Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Jana-iz. Hadits-hadits yang melaporkan bolehnya menangisi mayat cukup banyak. Nabi menangisi putranya (Ibrahim), pamannya (Hamzah), dan ibunya (Aminah). Dalam sunan al-Nasai dan Al-Turmudzi ada bab yang berjudul: Bab bolehnya menangisi mayit.

6) Padahal dalam banyak ayat al-Qur'an, prinsip pewarisan kepemimpinan pada keturunan atau keluarga nabi-nabi sering ditegaskan. Lihat 3:33; 2:124; 14:37; 19:58; 4:54; 20:30; 6:84; 27:16; 19:6. Kita tidak bermaksud menunjukkan bahwa pendapat wasiat Nabi pada Ali adalah satu-satunya paham yang benar. Kita hanya ingin menunjukkan bahwa prinsip egalitarian hendaknya ditafsirkan dengan merujuk pada dalil-dalil yang sahih.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi.

Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma'alim at-Madrasatain, Teheran: Bittsah.

Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah, Dar al-Mu'alim

Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi'ah wa al-Hakimun, Beirut: Dar al-Jawad.

-------------, 1982, Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Khamsah, tidak diketahui penerbitnya.

Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, Ulu al-Amr 'inda Madzahib al-Islamiyah, dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran: Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah.

Durant, Will, 1950, The Story of Civilization, Vol. IV, New York: Simon and Schuster.

-------------, 1953, The Story of Civilization, Vol. V. New York: Simon and Schuster.

Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies, London.

Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of Shi'a Islam. Beirut: American University.

Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs, Cambridge.

Rahmat, J., 1986, Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur'an dan Sejarah, dalam Haidar Bagir (ed.). Satu Islam, Sebuah Dilema, Bandung: Mizan.

Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah al-Najah.

Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi'a, Tidak diketahui penerbitnya.

Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Fikr

Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall, Trans. M. Weir. Calcutta.

No comments: